TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi kembali buka suara soal pemutihan atau pengampunan 3,3 juta lahan sawit yang berada di kawasan hutan. Menurut Walhi, denda dan pajak atas kebijakan pengampunan lahan sawit ilegal itu tidak sebanding dengan kerugian yang didapat.
"Kerugian negara dan kerugian perekonomian negara ini pasti jauh lebih besar dari denda yang diperoleh negara," ujar Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian lewat keterangannya kepada Tempo, Selasa, 27 Juni 2023.
Seperti diketahui pemerintah berencana mengurus masalah tersebut melalui mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Dengan beleid ini, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan.
Artinya, korporasi bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administratif. Alhasil, perusahaan yang memiliki lahan sawit di kawasan hutan tersebut menjadi legal asalkan menyetor pajak sesuai yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Uli menjelaskan kerugian perekonomian negara dari praktik kejahatan tersebut seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, juga harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Dia mencontohkannya dari kasus Surya Darmadi yang diputus bersalah karena telah melakukan korupsi perizinan dan pencucian uang.
Surya Darmadi dinilai telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun. Beberapa perusahaan Surya Darmadi yang menjadi objek kasus juga mengajukan pengampunan melalui pasal 110 A dan 110 B undang-undang Cipta Kerja. Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan juga sangat besar. Kerugian dari kebakaran hutan 2015 sebesar Rp 220 Trilun dan pada 2019 sebesar Rp 75 Triliun.
Dengan demikian, Uli menegaskan fakta-fakta ini cukup kuat untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang sekian lama telah meraup keuntungan dari hasil kejahatan. Namun, menurutnya, pemerintah malah bertindak seperti konsultan korporasi yang tertutup dalam proses 110 A dan 110 B.
Ia berujar pemerintah kini justru hadir di publik dengan narasi ketidakmungkinan penegakan hukum dari pada pemutihan pelanggaran. Padahal, seharusnya pemerintah membuat regulasi mekanisme tagihan tanggung gugat ke korporasi. Sebab dibalik aktivitas illegal selama belasan tahun ini, tutur Uli, terindikasi adanya korupsi dan pencucian uang.
Jika pemerintah tidak berani melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang telah melakukan kejahatan kehutanan, Walhi menilai sudah seharusnya dilakukan blacklist terhadap korporasi ini. Sehingga, perusahaan itu tidak lagi diberikan izin dan diberikan perpanjangan izin.
Walhi juga menggarisbawahi Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan harus menjelaskan siapa sebenarnya yang memaksa pemerintah untuk memutihkan 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan ini.
Terlebih berdasarkan analisa data yang dilakukan oleh Walhi, dari korporasi-korporasi yang diidentifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besarnya tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia.
Bahkan, menurut Uli, selain beraktivitas illegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi tersebut melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat.
Salah satu contohnya, PT Bumitama Gunajaya Agro (PT BGA) yang mengajukan keterlanjuran melalui pasal 110 A dan 110 B hingga saat ini berkonflik dengan masyarakat di Kinjil, Kalimantan Tengah. Bahkan, menurutnya, perusahaan itu juga melakukan kriminalisasi terhadap tiga orang masyarakat.
Karena itu, Walhi meminta Luhut yang juga menjabat sebagai Ketua Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara untuk membeberkan perusahaan mana saja yang memiliki 3,3 juta hektare lahan sawit di kawasan hutan itu.
Pilihan editor: Luhut Sebut 3,3 Juta Hektare Sawit di Kawasan Hutan Bakal Dilegalkan, Walhi: Pemerintah Tunduk terhadap Korporasi