Hendra kemudian menjelaskan bahwa cadangan atau stok ban yang tersisa saat ini hanya sampai dua bulan ke depan, bahkan ada yang kurang dari dua bulan.
APBI, yang juga anggota Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia, telah menyampaikan permasalahan ini kepada pemerintah agar dapat ditindaklanjuti, karena berpotensi merugikan pelaku usaha. Padahal pelaku usaha tengah berupaya mendukung perekonomian dan tren harga komoditas sedang turun. Dampaknya juga akan dirasakan oleh pelaku usaha alat berat yang menjadi bagian dari ekosistem industri pertambangan.
“Potensi hambatan tersebut sebelumnya sudah pernah disampaikan ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pemerintah telah melakukan beberapa pertemuan namun nampaknya tindak lanjut penyelesaian tidak mudah dikarenakan regulasi terkait impor yang kaitannya dengan regulasi neraca komoditas belum keluar,” terangnya lagi.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Gabungan Importir dan Pedagang Ban Indonesia (Gimpabi) Nora Guitet menjelaskan situasi yang terjadi saat ini berkaitan erat dengan dua regulasi, yakni PP Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian dan PP Nomor 32 Tahun 2022 tentang Neraca Komoditas.
Dalam PP No. 28 Tahun 2021, ada salah satu pasal yang menghambat importir untuk melakukan kegiatan impor. Ini kemudian berdampak pada kegiatan importasi ban, termasuk ban-ban yang digunakan di industri pertambangan. Sebagaimana diketahui, ban-ban untuk alat berat di pertambangan belum ada yang diproduksi dalam negeri, sehingga harus diimpor.
“Sementara banyak importir ban tambang ini pemegang API-U (importir umum) bukan API-P (importir produsen) sehingga sampai sekarang belum bisa mengimpor ban. Kami mendorong pemerintah agar aturan tersebut segera direvisi. Meski sudah berjalan namun sampai sekarang belum ada kejelasan kapan akan selesai,” kata Nora.
Selanjutnya: Terkait dengan PP No. 32 Tahun 2022....