TEMPO.CO, Jakarta - Redenominasi mata uang resmi Indonesia, yaitu Rupiah bakal segera dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual pada Kamis, 22 Juni 2023, penyederhanaan tersebut telah disiapkan sejak lama. Lantas, apa itu redenominasi?
Apa itu Redenominasi?
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya di pasaran. Melansir laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tujuan kegiatan itu untuk meminimalisir jumlah digit pada pecahan tanpa mengurangi harga, nilai, atau daya beli terhadap barang maupun jasa.
Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang seperti halnya pada akhir 1950-an, tepatnya 25 Agustus 1959. Di waktu itu, uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp 50 dan Rp 100. Dengan begitu, sanering berarti memangkas nilai uang hingga 90 persen.
Redenominasi diklaim mampu membuat transaksi berjalan dengan lebih efisien. Secara teknis, uang yang sudah mengalami redenominasi jumlah angkanya mengecil tetapi nilainya tak berubah. Sebenarnya, istilah itu tidak disadari telah merasuk ke kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya, penggunaan embel-embel huruf ‘K’ dibelakang digit untuk menyingkat satuan ribuan, seperti Rp 15K untuk Rp 15.000.
Tujuan Redenominasi
Selain demi menyederhanakan digit Rupiah, redenominasi dinilai lebih nyaman dalam pencatatan pembukuan keuangan. Menurut Permana dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik (2015), pecahan mata uang Rupiah menjadi mata uang terbesar di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam. Di kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp 100.000 menjadi yang terbesar sesudah Dong Vietnam 500.000.
Pecahan uang yang besar diklaim menimbulkan permasalahan-permasalahan di tengah masyarakat Indonesia. Dalam hitungan perbankan, penyederhanaan digit akan menghemat biaya teknologi. Bentuk mengurangi jumlah digit pada Rupiah juga memudahkan untuk membaca laporan keuangan dalam kegiatan akuntansi.
Tujuan redenominasi Rupiah lainnya adalah supaya perekonomian Indonesia mampu setara dengan negara-negara lain khususnya di tingkat regional. Di mata internasional, penyederhanaan digit mata uang dinilai lebih ringkas dan mudah dipahami. Selain itu, redenominasi mencerminkan kesetaraan kredibilitas antara negara berkembang dengan negara maju.
Wacana Redenominasi Rupiah
Dalam keterangannya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengaku sudah memerhatikan desain, tahapan, serta langkah-langkah menuju transisi. Ia menyebutkan ada tiga faktor yang membuat kebijakan tak kunjung direalisasikan, yaitu kondisi makro ekonomi yang tak bagus, keadaan moneter dan juga stabilitas sistem keuangan, serta kondisi sosial politik yang kurang kondusif.
Lebih lanjut, Perry menyatakan bahwa perekonomian di Tanah Air sudah baik, tetapi masih ada efek rambatan dari pelemahan ekonomi di kancah global. Meski stabilitas keuangan Indonesia dinilainya seimbang, tetapi terdapat ketidakpastian perekonomian. Maka dari itu, ia berharap seluruh pihak termasuk masyarakat bersabar untuk menunggu momen yang tepat.
Sementara itu, ia enggan menyampaikan dari sisi sosial politik kesiapan redenominasi Rupiah. “Tentu pemerintah yang lebih tahu," ucapnya.
Wacana redenominasi pada 2023 bukanlah yang pertama kali terjadi. Isu penyederhanaan digit pecahan hampir muncul setiap tahun. Namun, rencana tersebut sempat tenggelam bahkan sejak dicanangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Keinginan redenominasi tercatat juga pernah menyeruak pasca Kemenkeu mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/PMK.01/2020 itu menjelaskan rincian strategis Kemenkeu 2020-2024.
Pilihan editor: Bank Indonesia Kaitkan Inovasi Ekonomi dan Keuangan Digital dengan Sumber Kemakmuran Baru
MELYNDA DWI PUSPITA