TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Advokasi Tambang Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Melky Nahar mengingatkan pada semua pihak bahwa ada dugaan pelanggaran lingkungan di pertambangan nikel di Indonesia. Salah satu daerah yang diduga mengalami dampak buruk dari penambangan nikel adalah Pulau Obi dan Pulau Wawonii, Maluku Utara.
“Ada perampasan tanah warga hingga pencemaran air dan laut yang menyebabkan nelayan kehilangan wilayah tangkap,” ujar Melky pada Jumat, 16 Juni 2023.
Berdasarkan temuan Jatam, beberapa sungai di Pulau Obi tercemar limbah tambang. Tim The Guardian pernah menguji sampel air di Kawasi pada Februari 2022. Hasilnya, air itu mengandung zat karsinogenik (Cr6) yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60 bagian per miliar. Karsinogenik merupakan zat yang berpotensi menyebabkan kanker. Selain itu juga ada dugaan limbah tambang itu dibuang ke laut.
Sejumlah perusahaan tambang nikel beroperasi di sana. Seperti PT Halmahera Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, PT Halmahera Jaya Feronikel, dan PT Trimegah Bangun Persada. Mayoritas saham dari perusahaan-perusahaan ini dimiliki oleh Harita Group, perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam.
Hari ini, Jumat, 16 Juni 2023, PT Trimegah Bangun Persada Tbk melalui entitas asosiasinya, PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) melakukan ekspor perdana nikel sulfat. Sebanyak 5.584 ton nikel sulfat siap dikirimkan ke Cina. Nikel sulfat ini merupakan hasil pemurnian di Pulau Obi. Perusahaan menargetkan ekspor nikel sulfat hingga 240.000 ton per tahun. Hal ini sesuai dengan kapasitas produksi pabrik.
Melky meminta semua pihak untuk lebih kritis melihat kondisi industri penambangan nikel di Indonesia, terutama terkait dugaan perannya dalam kerusakan lingkungan. Selain itu, pihaknya juga mengingatkan kepada pasar global bahwa nikel Indonesia itu kotor. Karena rantai prosesnya diduga tidak memenuhi aspek ESG (environmental, social, and governance).
“Merusak kawasan hutan yang memicu deforestasi, hampir seluruh kebutuhan energinya berasal dari batu bara,” kata Melky.
Hingga berita ini ditulis, Corporate Secretary PT Trimegah Bangun Persada Franssoka Y Suwarwi dan Corporate Communications Anie Rahmi belum menanggapi permintaan konfirmasi Tempo terkait pernyataan yang sampaikan Jatam.
Namun, pihak Harita Nickel sebelumnya pernah membantah tudingan Jatam tersebut. Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, mengatakan bahwa perusahaannya selalu mengedepankan praktik pertambangan terbaik dengan mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik.
“Kami perusahaan yang pertama kali melakukan konservasi mineral, yang artinya mengurangi sisa batuan untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya mineral untuk bahan baku baterai mobil listrik,” kata Anie.
Anie membantah anggapan bahwa limbah PT Trimegah Bangun Persada dibuang ke sungai. Ia mengklaim, selama ini ore nikel PT Trimegah Bangun Persada dibuang ke dry stacking, yaitu metode penanganan limbah yang menggunakan prinsip filtrasi dengan tekanan tinggi untuk memisahkan antara padatan dan cairan.
Ia juga membantah anggapan bahwa PT Trimegah Bangun Persada mencaplok lahan warga. “Seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi yang beroperasi saat ini berada dalam kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan produksi konversi. Harita memegang izin pinjam pakai kawasan hutan atas setiap bukaan lahan,” ujarnya.
Pilihan Editor: Indonesia Ekspor Perdana Nikel Sulfat, Targetkan 240 Ribu Ton per Tahun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini