Menurut dia, belt and road initiative di negara berkembang termasuk Indonesia diluncurkan sejak tahun 2013. Faktor yang mendorong untuk peluncuran belt and road initiative adalah berkaitan dengan masalah ekonomi domestik China yang saat itu mengalami in-stabilitas.
Beberapa di antaranya adalah karena adanya penurunan produk domestik bruto (PDB), kelebihan kapasitas industri, kesenjangan sosial, dan tingginya angka pengangguran. Soal kelebihan kapasitas industri, Yeta berujar, pada 2008 Cina juga terdampak krisis moneter global, di mana pemerintah Negeri Tirai Bambu itu memberikan insetif kepada perusahaan untuk memproduksi banyak bahan industri.
“Seperti semen dan juga aspal, tapi hal ini akhirnya over production,” tutur dia.
Saat itu, Yeta melanjutkan, Xi Jinping menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis China dan memberikan inisiasi untuk menjadikan produk yang over supply ini menjadi nilai tambah ekonomi. Selain itu juga dipengaruhi oleh ambisi Xi Jinping untuk terlibat lebih di panggung internasional.
Selain sepuluh negara yang disebutkan Yeta, secara keseluruhan sebenarnya ada 147 negara yang telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) proyek kerja sama dengan China di bawah payung belt and road initiative. Jumlah ini merupakan dua pertiga populasi dunia dan melibatkan sekitar 40 persen dari PDB global. “Ini hampir seluruh negara di dunia ya,” kata dia.
Pilihan Editor: Ma'ruf Amin Ingin RI Punya Jalur Rempah Selain Jalur Sutra