TEMPO.CO, Bangka Belitung - Sudah lebih satu dekade para nelayan Batu Perahu mempertahankan wilayah perairannya dari gempuran perusahaan yang berencana melakukan penambangan timah.
Iming-iming uang tutup mulut, tekanan hingga ancaman kriminalisasi dari aparat penegak hukum yang diduga digerakkan oleh perusahaan sama sekali tidak meruntuhkan komitmen para nelayan untuk menolak kegiatan penambangan tersebut.
Bukan tanpa sebab. Perairan Pantai Batu Perahu selama ini dianggap seksi bagi pengusaha dan kelompok penambang. Selain diketahui memiliki cadangan timah yang besar, perairan yang masuk wilayah Desa Tanjung Ketapang itu juga masuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik perusahaan pelat merah PT Timah (Persero) Tbk. Biaya transportasi pun rendah karena hanya berjarak 1,5 km dari pusat Kota Toboali yang merupakan ibu kota Kabupaten Bangka Selatan.
Salah satu nelayan Batu Perahu yang menolak tambang itu adalah Abdullah. Ditemui Tempo di kediamannya, Abdullah menceritakan berbagai upaya nelayan menolak tambang hingga diberi iming-iming hingga diintimidasi agar menyetujui aktivitas tambang.
"Penolakan ini sudah lebih 10 tahun. Seingat saya pertama kali di tahun 2012 dimana 13 unit PIP (Ponton Isap Produksi) tambang timah milik pengusaha Bukong dibakar nelayan," ujar Abdullah, Jumat, 9 Juni 2023.
Abdullah menceritakan, upaya memaksakan kegiatan tambang di Batu Perahu tidak berhenti meski nelayan menolak keras hingga ke arah anarkis. Usai penolakan tambang Bukong, gerakan nelayan dilanjutkan dengan menolak Kapal Isap Produksi (KIP) milik perusahaan smelter timah PT Sumber Jaya Indah (SJI) pada Januari 2015, PIP tambang timah milik Rosario de Marshall alias Hercules pada Juni 2022 dan terakhir PIP tambang timah milik CV SAS pada akhir Mei 2023.
"Semuanya kita tolak. Mau legal atau ilegal, kita tetap konsisten dan berkomitmen menolak segala macam bentuk pertambangan," tutur Abdullah.
Adapun hal yang melatarbelakangi penolakan para nelayan itu adalah kegiatan pertambangan mengganggu mata pencaharian, khususnya nelayan udang sungkur. "Belum lagi dampak sosial dan lingkungan. Inikan sudah terbukti dampaknya di wilayah Sukadamai," katanya.
Namun berbagai upaya dilakukan oleh PT Timah maupun mitra pertambangan untuk tetap menambang di wilayah mereka. Berbagai bentuk kompensasi juga sudah ditawarkan untuk membujuk nelayan supaya menyetujui tambang timah.
"Bujuk rayu supaya kita setuju sudah sangat sering. Mulai ditawari uang untuk pribadi, desa hingga alat tangkap nelayan. Saya sendiri ditawari uang langsung. Mereka menawarkan kompensasi sebesar Rp 3 ribu per kilogram timah yang didapat. Ada juga menawarkan Rp 500 per SN (Kadar Logam Timah)," ujar dia.
Selanjutnya: Tidak hanya iming-iming uang, Abdullah juga...