TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno memberikan saran untuk program transportasi dengan skema buy the service (BTS). Program tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan di 10 kota.
Pertama, dia menjelaskan, pemilihan trayek atau rute dari transportasi skema BTS harus didasarkan pada jumlah penumpang atau kebutuhan dan kesiapan operator eksisting yang akan diikutsertakan. “Program BTS harus sejalan dengan master plan perencanaan dan pengembangan angkutan umum di daerah,” ujar dia lewat keterangan tertulis dikutip Selasa, 6 Juni 2023.
Selanjutnya kedua, kolaborasi dan sinergitas dengan operator lokal. Menurut Djoko, operator angkutan umum eksisting harus dilibatkan dalam sistem BTS. Karena, kata dia, mereka bukan pesaing namun sebagai mitra.
Ketiga, koordinasi antar pemangku kepentingan di daerah (DPRD, Bappeda, Dinas PU, Disdik, Kepolisian, Organda, operator eksisting, swasta dan media). Tujuannya untuk memastikan keberlangsungan program BTS khususnya dalam penerapan kebijakan push & pull. “Serta penyediaan infrastruktur pendukung BTS,” ucap Djoko.
Kemudian, keempat harus ada komitmen, kesiapan finansial, dan kesiapan kelembagaan pemerintah daerah. Dia menjelaskan, pemerintah daerah perlu menyiapkan tahapan pelaksanaan dan skema pendanaan program BTS, serta bantuan teknis terkait pengembangan transportasi publik perkotaan.
Kelima, perbaikan standar pelayanan minimal (SPM) BTS untuk memastikan tercapainya peningkatan kualitas layanan. “Selain itu, operator juga mampu melakukan perbaikan kinerja operasional dan layanan secara proporsional,” kata dia.
Lalu, keenam adalah monitoring, pengawasan, dan evaluasi berkelanjutan. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan layanan dan untuk menilai efisiensi layanan. “Termasuk perbaikan operasional dan teknologi IT yang digunakan untuk sistem BTS,” tutur Djoko.
Saat ini program BTS dilakukan dengan membeli layanan dari operator (mensubsidi 100 persen biaya operasional kendaraan) dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Pemerintah, kata Djoko, menjadi penanggung resiko penyediaan layanan angkutan dikarenakan tingginya biaya operasional angkutan massal.
“Pemerintah memberikan lisensi pelaksanaan pelayanan kepada operator yang memenuhi Standar Pelayanan Minimal,” ujar dia.
Sejak 2022, ada 11 kota yang sudah menerima bantuan penyelenggaraan transportasi umum perkotaan. Sebanyak 10 kota Program Teman Bus disubsidi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan 1 kota oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Sepuluh kota itu adalah Medan, Palembang, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan Makassar yang itu memiliki 48 koridor dilayani 741 armada bus dan 111 armada angkutan pengumpan (feeder). Program Bis Kita untuk Trans Pakuan di Kota Bogor (disubsidi melalui BPTJ) memiliki 4 koridor dengan 49 armada bus.
Saat ini, sudah ada 11 pemerintah daerah yang sudah mandiri mengelola transportasi umumnya, seperti Trans Koetaradja (APBD Aceh), Trans Padang (APBD Kota Padang), Trans Metro Pekanbaru (APBD Kota Pekanbaru), dan Tayo (APBD Kota Tangerang).
Selain itu, Trans Semarang (APBD Kota Semarang), Trans Jateng (APBD Jawa Tengah), Trans Jogja (APBD Yogyakarta), Trans Jatim (APBD Jawa Timur), Surabaya Bus (APBD Kota Surabaya), Trans Banjarmasin (APBD Kota Banjarmasin), Trans Banjarbakula (APBD Kalimantan Selatan).”Palembang pernah memberikan subsidi untuk Trans Musi, namun sejak tahun 2022 dihentikan,” tutur Djoko.
Adapun alokasi anggaran subsidi untuk program ini melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dimulai 2020 untuk 5 kota (Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta dan Denpasar) sebesar Rp 56,9 miliar, tahun 2021 untuk 10 kota sebesar Rp 292,7 miliar, tahun 2022 (Rp 550 miliar) dan tahun 2023 (Rp 625,7 miliar).
Pilihan Editor: Profil PT INKA, Perusahaan BUMN yang Bakal Disuntik PMN Rp 3 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini