TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menanggapi soal dugaan kepentingan politik dalam kebijakan ekspor pasir laut yang dibuka kembali tahun ini. Adapun pemerintah menghentikan ekspor pasir laut sejak 2002, namun Jokowi membukanya kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dalam beleid yang diundangkan pada 15 Mei 2023 itu, disebutkan pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
"Soal kepentingan pendanaan sejumlah kelompok usaha di Pemilu 2024, akan terjawab pada perizinan-perizinan yang akan aktif melakukan aktivitas ini," ujar Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring saat dihubungi Tempo pada Ahad, 28 Mei 2023.
Jika belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya, Boy mengungkapkan terdapat lonjakan kenaikan jumlah izin hutan dan kebun di tahun-tahun politik. Dan kali ini, ia menilai Jokowi telah memperlihatkan kebijakan serupa.
Seperti diketahui, pelarangan ekspor pasir laut pada 2002 berlandaskan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan SKB Nomor 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor SKB.07/MEN/2/2002, dan Nomor 01/MENLH/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Saat itu, pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor pasir laut lantaran telah terjadi kerusakan ekosistem wilayah pesisir akibat pengerukan yang ugal-ugalan saat itu. Keputusan itu juga disebabkan terjadi kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau.
Khusus Riau, menurut Boy, keputusan Jokowi dalam membuka kembali ekspor pasir laut jelas bertentangan permintaan nelayan tradisional. Sebab, kebijakan itu akan mengganggu aktivitas mereka.
Boy memberi contohnya kasus di Pulau Rupat. Pada April 2022, nelayan Pulau Rupat bersurat kepada Presiden Jokowi untuk minta penghentian dan pencabutan izin tambang. "Bukan menjawab permintaan nelayan, Jokowi malah menjawab permintaan pasar dan kelompok usaha," ucapnya.
Boy menilai kebijakan ini mempertegas keberpihakan pemerintah pada kepentingan investasi. Sementara kepentingan rakyat dan ekosistem Tanah Air diabaikan.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah pun buka suara soal ini. Menurutnya, dugaan adanya kepentingan politik dibalik kebijakan ekspor pasir laut belum terbukti. Namun, ia memastikan bahwa kebijakan tambang di laut ini hanya akan menguntungkan para oligarki.
Sementara itu, Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengaku mendapat informasi ada empat perusahaan besar di balik penerbitan izin ekspor pasir laut. Ia menyebut empat perusahaan tersebut telah berkolaborasi dengan politisi untuk memutuskan penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023 ini.
Pilihan Editor: Jokowi Buka Ekspor Pasir Laut, Greenpeace: Tidak Belajar dari Kesalahan