Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 2 inilah kemudian diatur hal-hal yang menyebabkan masuknya kekuasaan eksekutif yaitu Kementerian keuangan ke dalam Pengadilan Pajak di dalam UU ini. Viktor merinci beberapa di antaranya:
1. Tata Cara Penunjukan Hakim Ad Hoc pada pengadilan Pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat 5)
2. Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 22)
3. Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 27)
4. Tata Kerja Kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 28 ayat 2)
5. Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Keuangan (Pasal 29 ayat 4)
6. Persyaratan untuk menjadi kuasa hukum yang harus dipenuhi, selain yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 34 ayat 2)
Viktor menilai situasi ini telah melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan manapun, sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945. Menurutnya, prinsip ini tidak bisa ditawar dalam suatu negara hukum.
Padahal saat UU Pengadilan Pajak dibentuk pada 2002 silam, Viktor menyebut pemerintah dan DPR sempat menghendaki kewenangan pembinaan ini dialihkan ke Mahkamah Agung paling lambat 5 tahun sejak UU diundangkan. Bahkan ada yang ingin 1 sampai 3 tahun saja.
Namun saat sudah menjadi UU Pengadilan Pajak, ketentuan soal tenggat waktu itu dihilangkan. Itulah sebabnya urusan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan tetap berada di bawah kekuasaan Kementerian Keuangan selama 21 tahun lamanya.
RIANI SANUSI PUTRI | FAJAR PEBRIANTO
Pilihan Editor: Sri Mulyani Sebut Penerimaan Pajak Capai Rp 688,15 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini