“Misalnya aku adalah pemilik komputer yang terkena retas dan karena kecerobohanku tempat kerja aku jadi kacau, sekarang aku dalam tekanan besar harus mempertanggungjawabkan perbuatanku. Apakah kamu bisa membantu?” ucap Alfons mencontohkan.
Selain itu di bagian lain, Alfons menilai, gaya bahasa yang digunakan dalam chat terlihat menggurui dan bertindak seperti atasan yang biasa memberikan perintah. Dalam chat terlihat bahwa kalimat yang dipilih mencerminkan pihak korban kurang mengerti posisinya lebih lemah dan ingin menunjukkan seolah-olah dirinya yang berkuasa atau bos.
Hal itu terlihat dari kalimat yang merendahkan. Alfons lalu mencontohkan seperti pada bagian “you dont even know who's data you have stolen" dan "show me that customer data you think you hv stole it”. Jika dalam posisi lebih lemah, kata dia, adalah tidak pas jika korban malah menempatkan posisi sebagai atasan.
“Berikan sedikit penghargaan kepada lawan negosiasi guna mendapatkan empati jika ingin mendapatkan hasil akhir negosiasi yang baik,” ujar Alfons.
Bahkan, menurut Alfons, jika pihak LockBit marah, bisa saja menuding dengan mengatakan: “Aku berhasil mencuri datamu karena kamu bodoh". Tetapi hal ini tidak dilakukan, justru LockBit terlihat santai menghadapi gaya komunikasi lawannya.
Alfons menuturkan, dalam kasus ransomware, seharusnya ketika mengetahui menjadi korban, langsung melakukan pemeriksaan data apa saja yang dicuri. Pembuat ransomware apa lagi sekelas Lockbit jelas tidak akan mengeluarkan ancaman jika belum memegang semua kartu truf yang dibutuhkan.
Selain itu, dia berujar, ketika menanyakan harga, seharusnya negosiator juga memperhitungkan berapa kerugian reputasi, nama baik, dan kepercayaan yang akan terjadi jika kasus ini terungkap ke publik dan harus bernegosiasi dengan piawai. “LockBit sudah melakukan riset dan mengetahui bahwa bank ini adalah bank dengan keuntungan miliaran dolar,” tutur Alfons.
Selanjutnya: Alfons mengatakan, LockBit berhasil mencuri ...