TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi berbicara dalam Sesi Kerja Mitra G7 dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G7 Hiroshima, Jepang. Di depan negara-negara maju yang hadir, Jokowi menyampaikan keinginannya untuk mendirikan organisasi kartel layaknya OPEC.
"Sudah saatnya membentuk semacam OPEC untuk produk lain seperti nikel dan sawit," kata Jokowi dalam pertemuan di Grand Prince Hotel, Hiroshima, Sabtu, 20 Mei 2023.
Nikel dan sawit adalah dua komoditas unggulan Indonesia. Indonesia punya cadangan nikel terbesar di dunia, serta menjadi pengekspor sawit terbesar bersama Malaysia. "Saya berharap negara G7 dapat menjadi mitra dalam hilirisasi industri ini," kata Jokowi.
Keinginan untuk membentuk kartel nikel dan sawit layaknya OPEC ini sebenarnya sudah disuarakan juga oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sejak tahun lalu. Ia menyatakan Indonesia sedang memprioritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
"Selama ini yang kami lihat, negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik," kata Bahlil, November 2022.
Bahlil pun mengusulkan negara-negara penghasil nikel mendirikan organisasi seperti OPEC. Menurut dia, dengan adanya organisasi seperti OPEC, negara penghasil nikel dapat mengkoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel.
"Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata," ungkap Bahlil.
Adapun keinginan untuk membentuk kartel nikel dan sawit, layaknya OPEC yang menjadi kartel minyak mentah ini disampaikan Jokowi di KTT G7 ketika berbicara soal hak negara berkembang untuk maju.
Jokowi membawa pesan dari global south, alias negara-negara berkembang yang terletak di selatan ekuator bumi. "Working together means equality. Working together means inclusiveness, and we can only work together if we understand each other," kata Jokowi.
Namun yang menjadi pertanyaan, kata Jokowi, apakah kesetaraan, inklusivitas, dan sikap saling pengertian sudah menjadi semangat bersama yang dikembangkan negara-negara berkembang dan negara maju di G7. "Kita harus berani berkata jujur, banyak hal harus kita perbaiki," kata dia.
Pandemi, kata Jokowi, telah mengajarkan dunia tentang pentingnya melibatkan lebih banyak negara dalam rantai pasok global. Untuk itu, Jokowi menyerukan penghentian kebijakan monopoli. "Kebijakan diskriminatif terhadap komoditas negara berkembang juga harus dihentikan. Right to development setiap negara harus dihormati," kata dia.
Menurut Jokowi, saat ini sudah bukan zamannya lagi negara-negara global south alias berkembang hanya diberi ruang sebagai pengekspor komoditas bahan mentah. Jokowi menegaskan bahwa dunia sudah tidak berada pada masa kolonialisme.
"Apakah adil negara kaya SDA seperti Indonesia dihalangi menikmati nilai tambah SDA-nya? Dihalangi mengolah SDA-nya di dalam negeri?" kata Jokowi.
Jokowi juga menegaskan bahwa lebih dari 270 juta penduduk Indonesia yang menjadi jangkar perdamaian, demokrasi, dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik harus sejahtera. Karena itu, kata Jokowi, Indonesia tidak menutup diri.
"Melainkan bekerja keras untuk meningkatkan kerja sama dalam bentuk lain yang lebih setara dan dengan hasil win-win bagi semua," ujarnya.
Di akhir pidatonya, Jokowi kembali menegaskan ajakan untuk kolaborasi dan menyoroti peran besar G7. Menurut Jokowi, yang dunia butuhkan saat ini bukanlah polarisasi yang memecah belah. "Tapi justru kolaborasi yang mempersatukan dan negara G7 punya peran besar dalam ciptakan kolaborasi yang konkret dan setara," kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.