Menurut Airlangga, Indonesia tengah mengupayakan adanya pengaturan saling mengakui standar yang ada.“Itu isu yang mesti kita pecahkan,” katanya. Soal sertifikasi seperti yang diharapkan Uni Eropa, ia melanjutkan, akan susah dipenuhi oleh pengusaha/petani kecil.
Airlangga maupun Fadillah berharap, Uni Eropa menerima dan mengakui proses sertifikasi Indonesia maupun Malaysia. Soal deforestasi, menurut Airlangga, Indonesia telah menetapkan moratorium pada 2010.
Kedua menteri juga menekankan pentingnya misi yang dibawa tim gabungan bagi para pengusaha dan petani kecil. “Yang paling penting (dari misi ini) adalah untuk mengirimkan pesan kuat bahwa minyak sawit sesungguhnya berkontribusi besar, sesuai dengan SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan), yakni mengatasi masalah kemiskinan,” ujar Fadillah.
Menurut dia, tindakan yang dilakukan Uni Eropa dengan tanpa negosiasi akan berdampak pada para stakeholders kecil atau pengusaha-petani kecil. “Ini yang menjadi perhatian Indonesia dan Malaysia.”
Menurut Fadillah, para pengusaha dan petani kecil ini menyangga 40 persen suplai minyak sawit global. Jumlah pengusaha atau petani kecil di Malaysia tercatat sekitar 450 ribu orang. Sementara di Indonesia sekitar 2,5 juta orang.
Langkah bersama Indonesia dan Malaysia ini merupakan tindak lanjut untuk mencari solusi sengketa sawit dengan Uni Eropa. Sebelumnya, kedua negara telah membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Keduanya menganggap Uni Eropa menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap produk minyak sawit kedua negara.
PURWANI DIYAH PRABANDARI (KUALA LUMPUR)
Pilihan Editor: Mengaku Belum Dapat Tiket, Sandiaga Uno Upayakan Coldplay Tambah Hari Konser di RI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini