TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan pemerintah tidak bisa bergantung pada pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Terlebih, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyinggung pencairan pendanaan tersebut masih belum jelas.
Fahmy mengatakan, pendanaan JETP US$ 20 miliar itu kan baru sebatas komitmen negara maju untuk untuk membantu Indonesia dalam program transisi energi. "Tapi sepertinya sulit direalisasikan karena Amerika dan negara Eropa masih dalam kesulitan ekonomi, kesulitan keuangan," ujar Fahmy ketika dihubungi Tempo melalui sambungan telepon pada Senin, 15 Mei 2023.
Oleh karena itu, menurut Fahmy pemerintah mesti segera mencari investor. Sebab kalaupun dana JETP cair, nominalnya belum cukup membiayai semua program transisi energi yang direncanakan pemerintah.
"Selain pemerintah perlu lobi-lobi supaya dananya cair, harus mencari investor untuk berinvestasi di pembangkit EBT," tutur Fahmy.
Fahmy berujar, tanpa pendanaan JETP dan pendanaan dari investor, transisi energi di Indonesia sulit direalisasikan. Dia menilai PLN tidak mampu menggarap program ini sendiri. Sementara dana APBN, kata dia, rasanya tidak memungkinkan untuk menggarap proyek ini.
"Dana JETP sebenarnya jadi harapan. Tapi saya kira investor juga suatu keharusan," tuturnya. "Tanpa investor, lalu dana JETP tidak cair, program transisi energi bisa gagal."
Selanjutnya: pendanaan transisi energi melalui skema JETP masih belum jelas