TEMPO.CO, Jakarta - Belum lama ini, nasabah Bank Syariah Indonesia atau BSI mengalami kesulitan dalam mengakses layanan BSI. Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk, Hery Gunardi, menyampaikan permohonan maaf kepada nasabah atas gangguan tersebut.
Terbaru, gangguan itu disebabkan oleh ransomware yaitu jenis virus Malware yang menyerang perangkat dengan sistem enkripsi file. Tercatat, 15 juta informasi nasabah dicuri oleh lockbit berupa nomor telepon, alamat, nama, informasi dokumen, jumlah rekening, nomor kartu, dan transaksi. Kelompok hacker ranswomware mengaku telah mencuri data-data internal itu sejak 8 Mei 2023.
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Jawa Timur mengecam kegiatan itu. IAEI mengatakan kegiatan itu berpotensi mencederai gerakan Keuangan Syariah dan Ekonomi Syariah, yang selama ini dibangun oleh pemerintah dan banyak pihak terkait, termasuk IAEI.
Menyikapi hal tersebut, IAEI Jawa Timur mengungkapkan beberapa hal antara lain, mendorong pihak BSI, terutama pada level manajemen puncak, untuk melakukan muhasabah dengan mengevaluasi budaya dan kinerja operasional organisasi yang mungkin ada yang menyalahi prinsip-prinsip keuangan dan ekonomi syariah, baik kepada pihak internal maupun eksternal.
Selin itu, mendorong manajemen puncak BSI untuk secara terbuka dan transparan menyampaikan
kepada publik, termasuk kepada otoritas terkait, perihal gangguan tersebut, baik karena
kesengajaan maupun ketidaksengajaan, dari pihak internal maupun eksternal, yang diikuti
dengan penguatan keamanan siber BSI.
IAEI Jawa Timur meminta otoritas terkait, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), untuk mengambil tindakan dalam rangka mitigasi
risiko dan perlindungan konsumen serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan syariah.
"Mendorong DPP IAEI bersama jaringannya menyuarakan kepada BSI dan otoritas terkait
untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka mitigasi risiko dan perlindungan konsumen
serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan syariah," tulisnya dalam rilis yang diberikan.
Tak hanya itu, IAEI Jawa Timur yang beranggotakan pakar ekonomi dari puluhan perguruan tiunggi di Jawa Timur ini pun memberikan tak kurang dari 5 rekomendasi untuk penanganan kasus BSI tersebut, yaitu:
1. Kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) untuk meminta
penjelasan kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) BSI terkait budaya dan kinerja
operasional organisasi BSI yang mungkin ada yang menyalahi atau meninggalkan prinsip-
prinsip hasanah, baik kepada pihak internal maupun eksternal;
2. Kepada OJK, BI, dan LPS untuk ikut meredam keresahan masyarakat, khususnya nasabah
BSI, dengan memberi pernyataan-pernyataan pada publik tentang jaminan keamanan dana
nasabah dan segera akan melakukan pemulihan terhadap layanan BSI sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga ini.
3. Kepada Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk mengusut dugaan
terjadinya kejahatan siber, baik berupa computer crime maupun computer-related crime, pada
sistem BSI.
4. Kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak memberi pernyataan-pernyataan yang
berbasis dugaan-dugaan agar tidak menambah keresahan bagi nasabah BSI, serta memberi
masukan-masukan solutif kepada nasabah BSI tanpa harus merusak kepercayaan mereka
kepada perbankan syariah.
5. Kepada pegiat ekonomi dan keuangan syariah untuk terus memberi penjelasan yang
baik kepada masyarakat bahwa teknologi juga memiliki kerentanan, termasuk adanya
potensi akan terjadinya kejahatan siber yang dapat menyerang lembaga, instansi, organisasi
apapun, termasuk pada yang berafiliasi atau berlabel syariah sekalipun. Untuk itu,
penguasaan teknologi pada era digitalisasi menjadi unsur yang harus eksis dalam ekosistem
keuangan dan ekonomi syariah.
Pilihan Editor: Nasabah BSI Berpotensi Ramai-ramai Tarik dana, Pengamat: Saya Rasa Tidak
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.