INFO BISNIS – Jatuhnya tiga bank Amerika Serikat yakni Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan First Republic Bank diakibatkan dari kenaikan signifikan suku bunga acuan Bank Sentral AS dari 0,25 persen menjadi 5 persen. Selain itu, tingginya suku bunga acuan AS mengakibatkan peningkatan suku bunga kredit perumahan, yang kemudian menyebabkan tingkat pengajuan kredit perumahan rakyat (KPR) turun signifikan.
Akibat lain yakni kurva imbal hasil (yield) obligasi AS (US Treasury) kini telah mengalami inverted, di mana yield obligasi AS tenor 2 tahun lebih tinggi dari tenor 10 tahun. Belum lagi, berdasarkan penghitungan model Ekonometrika yang dibangun melalui metode Markov Switching Dynamic Model pada Juli 2022 menunjukkan bahwa probabilitas AS mengalami resesi ekonomi tahun 2023 sebesar 80 persen. Angka probabilitas itu naik signifikan sembilan bulan kemudian (April 2023) menjadi 91 persen.
“Melihat kondisi AS yang semakin sulit dan bangkrutnya tiga bank di AS. Saya kira kita harus bijak menyikapinya. Kita harus siap dengan kemungkinan terburuk AS akan jatuh terjerembap dalam resesi ekonomi, yang mungkin akan diikuti oleh Eropa, bahkan ada kemungkinan resesinya lebih cepat dibandingkan AS,” kataChief Economist BRI sekaligus Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata.
Menurutnya, pada saat negara maju mengalami resesi, maka akan sulit negara berkembang terhindar dari resesi ekonomi dunia. Apalagi dalam kebijakan moneternya, menaikkan suku bunga acuannya secara signifikan sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan AS, dalam rangka menjaga stabilitas nilai mata uangnya terhadap Dollar AS.
Kendati demikian, Anton meyakinkan masyarakat Indonesia agar tidak panik meyikapi kondisi tersebut. Pada nyatanya, Indonesia telah berpengalaman bertahan dalam krisis ekonomi dan finansial global 2008/2009 (GFC 2008/2009). Di saat itu, Indonesia hanya mengalami perlambatan ekonomi namun tidak terseret ke dalam resesi. Perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh positif sebesar 4,6 persen tahun 2009 dari 6 persen pada 2008.
Padahal di tahun itu, krisis ekonomi yang ditandai kebangkrutan Bank Lehman Brothers daya rusaknya jauh lebih besar dari kolapsnya SVB, Signature Bank, dan First Republic Bank di tahun ini. Lalu indikator persepsi risiko yang diwakili oleh credit default swap (CDS) dari lima bank besar di AS (Bank of America, Citi Group, JP Morgan, Wells Fargo, dan Morgan Stanley) lebih melonjak signifikan pada saat kolapsnya Lehman Brothers. Artinya, kekhawatiran dan ketakutan jatuhnya Lehman Brothers (GFC 2008/09) terbukti kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jatuhnya SVB dan lain-lain.
“Fakta-fakta tersebut, telah membuka nalar sehat kita, bahwa jika AS mengalami resesi tahun 2023, dampak negatifnya kemungkinan besar tidak akan separah krisis ekonomi global 2008/09. Indonesia akan jauh dari episentrum resesi ekonomi global 2023. Fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dan kuat dibandingkan kondisi 15 tahun lalu, pada saat resesi ekonomi global 2008/09,” kata Anton.
Kyakinan itu diperkuat dengan perhitungan yang telah dibangun oleh BRI pada Juli 2022 yakni menggunakan Markov Switching Dynamic Model. Di sana menunjukkan, jika AS mengalami resesi ekonomi 2023, maka probabilitas Indonesia mengalami resesi ekonomi hanya 2 persen. Angka tersebut sama persis dengan konsensus Bloomberg pada April 2023 ini.
Selanjutnya, Anton menyarankan berbagai pihak untuk memperkuat kekuatan domestik perekonomian Indonesia di antaranya dengan mengoptimalkan konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak utama perekonomian. Di sisi lain, pemerintah harus mampu menjaga daya beli masyarakat level menengah ke bawah dan menggerakkan perekonomian lokal/daerah melalui stimulus fiskal seperti Bantuan Sosial (Bansos), perlinsos, dana desa, dan lain-lain.
“Pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia harus dikuatkan dan dibantu secara berjenjang dan berkesinambungan, terutama dari sisi pembiayaan dan pemberdayaannya. Skema KUR yang tepat sasaran dan subsidi bunga yang efektif, mendorong inklusi keuangan, dan literasi keuangan akan membuat pelaku UMKM semakin mandiri dan kompetitif. Pada saat UMKM kuat maka Indonesia akan kuat menghadapi badai resesi ekonomi global,” ujar Anton.