TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memperkirakan tagihan rafaksi atau utang pemerintah terkait minyak goreng mencapai Rp 1,1 triliun. Komisioner KPPU Chandra Setiawan mengatakan, tagihan rafaksi itu berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai sekitar Rp 700 miliar dan sisanya berasal dari 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia.
"Saat ini, Kementerian Perdagangan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak dapat melakukan pembayaran karena peraturan di atas yang menjadi dasar, telah dicabut dan tidak terdapat peraturan peralihan," kata Chandra melalui keterangan persnya, Rabu 10 Mei 2023.
Chandra menjelaskan, rafaksi merupakan selisih antara Harga Acuan Keekonomian (HAK) dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Berdasarkan informasi dari Pemerintah, HAK minyak goreng kemasan bulan Januari 2022 adalah sebesar Rp 17.260, yang berada di bawah harga rata-rata Januari 2022 sebesar Rp 20.914. Sementara berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022, HET minyak goreng kemasan adalah sebesar Rp 14.000.
Selain itu, lanjut Chandra, KPPU melihat bahwa gap atau celah antara harga Crude Palm Oil (CPO) dan harga minyak goreng di Indonesia semakin besar. Dari data rasio harga CPO/minyak goreng, dicatat bahwa rata-rata rasio pada tahun 2021 sebesar 25 persen, sementara pada tahun 2023 menunjukkan angka sebesar 40 persen.
"Sehingga antara dua tahun tersebut, estimasi potensi kerugian konsumen dengan adanya kenaikan harga minyak goreng akibat sentimen tersebut mencapai Rp 457 miliar," kata Chandra.
Untuk itu, kata Chandra, KPPU menyarankan Kementerian Perdagangan keluarkan regulasi terkait pelaksanaan kewajiban pembayaran rafaksi minyak goreng pada pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi.
Menurut Chandra, pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET.
"Adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif, karena tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha," kata Chandra.
Apalagi, kata Chandra, para pelaku ritel merencanakan aksi boikot pembatasan pembelian minyak goreng oleh para pelaku ritel sebagai akibat belum dibayarkannya tagihan rafaksi.
"Persoalan ini patut menjadi prioritas Pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas kepada masyarakat," kata Chandra.
Baca juga: Jokowi di KTT ASEAN: Apakah Kita Menjadi Penonton atau Motor Pertumbuhan Dunia?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.