TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) buka suara soal utang subsidi minyak goreng yang belum dibayarkan pemerintah kepada pengusaha ritel sebesar Rp 344 miliar. Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengaku telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuat aturan baru agar utang itu bisa segera dilunasi.
"Kami menyarankan kepada pemerintah, khususnya Kemenetrian Perdagangan untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur pembayaran atau pelaksanaan pembayaran utang rafaksi itu," ujar Mulyawan dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 10 Mei 2023.
Utang tersebut berasal dari selisih harga keekonomian minyak goreng dengan harga jual saat negara meminta peretail menjual minyak goreng Rp 14.000 per liter pada awal tahun lalu.
Saat itu, ada sekitar 42.000 gerai ritel dari 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia. Seluruh ritel yang menjual minyak goreng bersubsidi kala itu adalah milik pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Adapun rekomendasi itu diberikan KPPU untuk mengurangi ketidakpastian hukum dan mengurangi sentimen negatif di pasar. Sebab, ia mencatat gap antara harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dengan harga minyak goreng di Indonesia semakin tinggi sejak permasalahan ini terungkap di media.
KPPU mencatat rasio CPO minyak goreng pada 2023 sudah meningkat dibandingkan 2021. Pada periode April-Mei 2021, rata-rata rasio CPO sebesar 25 persen. Sedangkan pada periode yang sama tahun ini, rata-rata rasionya sudah mencapai 40 persen.
Dengan membandingkan rasio ini, KPPU menganalisis terdapat potensi kerugian konsumen sebesar Rp 457 miliar. Musababnya, harga minyak goreng terus melambung sementara harga CPO sebenarnya sudah mengalami penurunan.
"Jadi masyarakat saat ini membayar minyak goreng dengan harga yang lebih mahal," ujarnya.