TEMPO.CO, Jakarta - Polemik utang pemerintah terkait program satu harga minyak goreng kepada pengusaha retail senilai Rp 344 miliar belum selesai. Bahkan, pengusaha retail mengancam akan menggugat Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Adapun utang tersebut berasal dari selisih harga keekonomian minyak goreng dengan harga jual saat negara meminta peretail menjual minyak goreng Rp 14.000 per liter pada awal tahun lalu. Saat itu, ada sekitar 42.000 gerai yang menerapkan harga tersebut meskipun pemasok membanderol di atas Rp 14.000.
Perintah tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 dan 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022 disebutkan utang itu harusnya dibayarkan paling lambat 17 hari kerja setelah kelengkapan dokumen pembayaran berdasarkan hasil verifikasi disampaikan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Berikut sederet fakta seputar utang pemerintah dalam program satu harga minyak goreng tersebut:
1. Kemendag Sempat Mengatakan Terkendala Proses Verifikasi
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim, pernah mengatakan bahwa pembayaran utang minyak goreng ini terhambat lantaran masih terkendala proses verifikasi. "Utang bisa dibayarkan paling lambat 17 hari kalau berkas itu lengkap dan benar dan itu sudah ada dari hasil verifikasi dari surveyor independen. Tapi penyelesaian verifikasi dari surveyor independen ini kan melebihi batas waktunya," tutur Isy pada Kamis, 27 April 2023.
Menurut Isy, proses verifikasi terhambat karena Kemendag Kemendag sempat gagal melakukan lelang pemilihan surveyor independen. Sementara surveyor independen yang bertugas untuk melakukan verifikasi ini tetap harus melalui proses lelang atau tidak boleh ditunjuk langsung.
"Proses lelang itu mengalami kegagalan waktu itu jadi dilelang ulang," kata dia.
Kemudian Kemendag melakukan mencabut Permendag Nomor 3 Tahun 2022 dan menggantinya dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Garfa Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Kebijakan ini, kata Isy, memunculkan kekhawatiran ihwal aspek hukum pembayaran utang rafaksi kepada pengusaha retail.
Pihaknya lantas meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan masih dikumpulkan data-datanya. Karena itu, Isy berharap pengusaha retail bisa menunggu hingga Kejagung mengungkapkan pendapat hukumnya.
2. Aprindo Ancam Hentikan Penjualan Minyak Goreng di Retail Modern
Menurut Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey, sudah satu tahun lebih pembayaran rafaksi minyak goreng ini belum diselesaikan. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini Aprindo juga sudah melakukan audiensi secara formal maupun informal kepada Kemendag, BPDPKS, Kantor Sekretariat Presiden, hingga Komisi VI DPR RI.
Atas hal ini, dia mengungkap Aprindo memiliki opsi. “(Salah satunya) menghentikan pembelian atau pengadaan minyak goreng dari produsen atau pemasok minyak goreng, dalam waktu dekat,” kata Roy dalam keterangan tertulis, Jumat, 14 April 2023.
Selanjutnya: Selain itu, pihaknya telah mengirim surat pada Presiden ...