TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Indonesia Torry Kuswardono menjelaskan transisi energi yang berkeadilan sangat penting diterapkan. Khususnya dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca berdasarkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang targetnya mencapai 31,89 persen. Namun, praktik transisi energi di Indonesia tidak searah dengan semangat tersebut.
Menurut Torry, pemahaman dan penerapan prinsip adil dalam proses transisi energi pemerintah Indonesia saat ini melenceng dari pemahaman yang seharusnya. “Transisi energi saat ini salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang (tetap) mengandalkan eksploitasi,” ujar dia lewat keterangan tertulis pada Rabu, 5 April 2023.
Menurut dia, langkah mitigasi krisis iklim dalam transisi energi, prosesnya harus berkeadilan dan menjamin integrasi ekosistem, lingkungan, dan integritas sosial. Torry menilai transisi energi tidak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata. Namun, harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya.
Mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan, ke depannya akan memunculkan masalah baru.
“Misalnya kebijakan kendaraan listrik. Perlu dilakukan asesmen, bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitarnya, jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam bertransisi dan berujung pada ketidakadilan,“ tutur Torry.
Torry menegaskan bahwa transisi energi yang berkeadilan yang didorong pemerintah, masih belum jelas di mana letak keadilannya. “Seperti apa prinsip-prinsip keadilan itu diterapkan? Prinsip keadilan ini perlu didefinisikan ulang,” kata dia.
Senda dengan Torry, Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry menuturkan, prinsip ‘keadilan’ adalah hal yang paling fundamental pada transisi energi. Dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan, Trend Asia menggaungkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Di antaranya adalah akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif. Kedua adalah penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiga adalah keadilan ekologis. Selanjutnya adalah keadilan ekonomi dan transformatif.
“Bukan sekedar transisi teknologi, tapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi yang regeneratif dan demokratis,” ucap dia.
Ashov menyarankan beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan. Yakni percepatan pensiun dini PLTU dan pengakhiran pertambangan batu bara. Selain itu, meninggalkan solusi-solusi palsu transisi energi, dan reformasi PLN dan kebijakan energi.
“Serta perancangan dan implementasi transisi energi yang akan memastikan bahwa transisi dijalankan secara berkelanjutan dengan titik tekan pelibatan publik dan proses yang bottom-up,” kata Ashov.
Dia pun menjelaskan, Indonesia mempunyai target 23 persen untuk bauran energi terbarukan pada 2025. Namun, hingga saat ini pencapaiannya masih rendah yaitu sekitar 11-12 persen. Ini karena masih banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif, yakni masih berpihak pada industri fosil.
Masih ada 13,8 gigawatt PLTU yang dipertahankan pemerintah terus dibangun tanpa tenggat waktu yang pasti untuk penghentian pembangunan PLTU batu bara baru, dan masih banyaknya insentif bagi industri batu bara. Aspek penting lainnya, konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah.
“Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara,” ujar Ashov.
Baca juga: Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Menteri PUPR: Stadion Siap untuk Piala Dunia U-17
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.