TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa secara garis besar ada empat kemungkinan penyebab kebakaran Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau. Kebakaran kilang Dumai itu terjadi akhir pekan lalu.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Nicke menjabarkan sejumlah dugaan penyebab kebakaran kilang Dumai. Yang pertama adalah karena lightning atau petir. Menurut Nicke, pihaknya sudah membangun lightning protection system setelah insiden kebakaran kilang minyak Balongan pada 2021 lalu untuk mencegah risiko kebakaran terjadi karena petir.
“Ini sudah selesai dibangun jadi lightning protection-nya kita dua lapis baik di equipment-nya dan juga di tower. Itu sudah selesai,” ujar dia dikutip dari siaran langsung Komisi VII DPR RI pada Selasa, 4 April 2023.
Kemungkinan kedua penyebab kebakaran kilang Dumai adalah overflow (bahan bakar yang mengalir keluar atau luber), yang pernah terjadi dalam salah satu kasus dan menjadi penyebab kebakaran. Namun, dia mengaku bahwa perusahaannya sudah melakukan overflow management. Sehingga jika terjadi overflow, seperti apa respons sudah dipelajari.
Ketiga, Nicke mengambil contoh kasus di Balikpapan yaitu high temperature hydrogen attack (HTHA). Menurut dia, hal itu juga sudah masuk ke dalam programnya.
Pertamina, Nicke berujar, sudah menjalankan HTHA. Sehingga kebocoran hidrogen yang terjadi seperti di Dumai itu misalnya, bisa dipadamkan hanya dalam waktu 9 menit saja.
“Jadi ini sebagai salah satu bukti bahwa program yang kami jalankan bisa meminimalkan risiko. Nanti kami lihat penyebab kebocorannya,” tutur Nicke.
Selanjutnya dugaan keempat penyebab kebakaran kilang Dumai adalah sulfidation atau endapan sulfur. Menurut dia, semua tahu bahwa kilang-kilang yang ada di Indonesia menggunakan teknologi lama, sehingga memproses sulfurnya rendah. Program yang dilakukan adalah Refinery Development Master Plan atau RDMP agar kilang bisa memproses sulfur tinggi, sehingga harganya lebih murah dan crude cost bisa diturunkan.
“Tetapi material yang digunakan tentu harus di-improve, harus diubah yang tidak cepat rusak ketika yang diproses adalah crude dengan sulfur tinggi itulah sulfidation,” ucap Nicke.
Sebagai tambahan, dia melanjutkan, pada kasus kilang di Dumai, yang belum tentu terjadi adalah adanya potensi corrosion under insulation. “Maksud saya di sini kita belajar terus dari pengalaman dan kita lakukan improvement,” kata Nicke.
Baca juga: Kasus Ekspor Emas Rp 189 Triliun di Bea Cukai, Ini Penjelasan Lengkap Stafsus Sri Mulyani
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.