Jika diproduksi di dalam negeri, tuturnya, masukan sektor pajak bisa mencapai Rp 6 triliun dan BPJS Rp 2,7 triliun. Ia menilai kondisi ini juga berimplikasi pada kegiatan ekonomi disektor energi, perbankan, logistik, industri pendukung dan sektor terkait lainnya.
Sementara itu, salah satu produsen industri kecil menegah (IKM) tekstil sekaligus Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman berujar para pedagang pakaian bekas impor ilegal merupakan penjual pakaian lokal. Rendahnya permintaan tekstil ini, menurut dia, disebabkan oleh banjirnya produk impor bekas ilegal.
Nandi menuturkan jika IKM bangkit, dampaknya akan sangat luas bahkan bisa menggerakkan hulu dan membuka banyak lapangan pekerjaan. “Dulu para pekerja konveksi IKM kami mengerjakan banyak permintaan dari brand-brand lokal ternama seperti Zoya dan Rabbani yang maklon di tempat kami, sekarang sudah tidak ada lagi," ujarnya.
Bahkan, kata dia, menjelang Lebaran Idul Fitri pun pesanan kepada IKM masih sepi. Dia berharap di tahun politik pelaku usaha IKM tekstil masih akan menerima banyak pesanan kaos kampanye.
Nandi menegaskan sangat tidak adil apabila produksi pakaian dalam negeri harus bersaing dengan pakaian bekas impor ilegal yang tidak memiliki biaya produksi. Oleh sebab itu, dia berharap persoalan pakaian bekas impor ilegal ini segera dituntaskan. "Kami siap menggantikan produk pakaian bekas tersebut atau mensubstitusikan dengan produk pakaian lokal yang berkualitas dan harga yang terjangkau."
Pilihan Editor: Asosiasi Pengusaha Tekstil Cerita Dampak 350 Ribu Pakaian Bekas Ilegal Masuk ke Indonesia per Hari
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.