Selain itu, pengalaman yang disampaikan Huawei juga belum dapat dinilai memenuhi syarat. Sebab, informasi dalam lampiran dokumen kontrak dirahasiakan. Huawei juga tidak mencantumkan nama kontak dan penghubung lima kantor cabang perusahaan sebagaimana dipersyaratkan.
Begitu pula dengan konsorsium Indonesia Bisnis Sejahtera (IBS) dan ZTE yang memegang proyek di wilayah Papua. Temuan BPK menunjukkan bahwa dukungan pemegang saham ZTE tidak sesuai ketentuan.
Berdasarkan laporan keuangan tahun 2019, nilai kekayaan kemitraan IBS-ZTE tercatat sejumlah Rp 2.083.762.939.890 yang terdiri dari kekayaan ZTE Indonesia sebesar Rp 616.443.216.456 dan IBS senilai Rp 1.467.319.723.434.
“Nilai tersebut masih di bawah kekayaan bersih yang dipersyaratkan untuk mengikuti tiga paket pengadaan, yakni sebesar Rp 8,1 triliun,” tulis BPK dalam laporannya.
Selain itu, BPK menemukan dugaan permainan penentuan pemenang proyek. Awalnya, kemitraan IBS-ZTE tidak lolos sebagai pemenang proyek paket 4 dan 5 pembangunan BTS Bakti karena dianggap tidak memenuhi persyaratan teknis dan finansial. Namun, pada 22 Januari 2021, Pokja Pemilihan Pengadaan mengubah ketentuan di dokumen tender.
Perubahan spesifikasi tersebut membuat konsorsium IBS-ZTE yang semula tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi aspek finansial dan teknis. Kemitraan IBS-STE lantas melenggang menjadi pemenang.
“Perubahan spesifikasi teknis tersebut terindikasi bukan didasarkan kepada analisa kebutuhan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, akan tetapi karena spesifikasi teknis yang dimiliki atau dapat disediakan oleh Konsorsium IBS-ZTE,” tulis laporan BPK.
Selanjutnya: tidak bersedia memberikan penjelasan