Dalam arti luas, perpajakan itu meliputi pajak, cukai, pungutan perdagangan internasional, dan pajak bumi bangunan. “Sekalipun mereka tidak ikhlas (bayar pajak), sekalipun mereka bertekad untuk menghindari dari bayar pajak, tapi mereka tidak akan bisa untuk tidak membayar,” tutur dia.
Faisal pun memberikan contoh, eksportir akan dikenakan pajak secara otomatis melalui bea keluar. Jika tidak, maka barang tidak bisa diekspor. Contoh lainnya, setiap orang yang membeli air minum dalam kemasan, buku, tiket pesawat, tiket kereta api, dan barang apapun akan secara otomatis membayar pajak. Sebab dari harga pembelian tersebut sudah termasuk pajak. Begitu pula dengan pembayaran jasa.
“Masyarakat tidak bisa menghindar dari membayar pajak,” kata Faisal Basri. “Kekuatan negara luar biasa. Negara tahu cara untuk membuat orang mau melakukan hal yang sebenarnya mereka tidak ingin mereka lakukan (membayar pajak), that’s politic.”
Menurut Faisal, politik adalah state of the art untuk memaksa rakyat melakukan sesuatu yang tidak disukai, termasuk untuk membayar pajak. “Alhamdulillah saya sudah bayar pajak. Meski dengan mangkel, sialan ini uang pajak saya nih digunakan buat hura-hura,” ujar Faisal.
Oleh karena itu, Faisal mengajak masyarakat untuk memperjuangkan hak demokrasinya. Masyarakat sudah melaksanakan kewajibannya dengan membayar pajak, maka boleh menuntut haknya. Termasuk hak mengingatkan dan memprotes perilaku pejabat negara dan keluarganya yang pamer harta. “Para pejabat itu digaji dari jerih payah darah dan keringat rakyat,” kata Faisal Basri.
Menurut Faisal Basri, sebagian besar masyarakat Indonesia menyadari hak-hak demokrasi sebagai warga negara. Karena itu dia berharap masyarakat akan semakin artikulatif dalam mengkritisi pemerintah. “Masyarakat sadar mereka telah melaksanakan kewajibannya yakni bayar pajak. Dan mereka ingin ada akuntabilitas,” tutur dia.
Baca juga: Jokowi Impor Beras 2 Juta Ton, Pengamat: Produksi Cukup tapi Bulog Tak Sanggup Menyerap
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.