"Impor ini disebabkan Bulog tidak memenuhi target penyerapan panen petani sekalipun produksi lebih dari cukup," ujar Said saat dihubungi Tempo, Senin, 27 Maret 2023.
Mengingat pada tahun lalu, kata dia, pemerintah melakukan impor ketika Indonesia justru sedang swasembada beras. Dengan demikian, ia menilai tidak ada korelasi linear antara produksi dengan impor.
Artinya, keputusan impor bukan diukur dari jumlah produksi dalam negeri melainkan kondisi pasokan beras di gudang Bulog. Sehingga, menurut Said, impor beras diukur dari seberapa besar kemampuan Bulog bersaing dengan pihak swasta untuk menyerap hasil produksi petani.
"Selama ini Bulog selalu kalah karena kemampuan membeli dibatasi HPP (harga pembelian pemerintah)," kata Said.
Terlebih berdasarkan catatannya, Said mengatakan tahun lalu Bulog hanya mampu menyerap kurang dari 5 persen dari total produksi. Besarnya penguasaan beras oleh korporasi besar atau pedagang swasta, tutur Said, membuat harga di pasar dan distribusinya dikendalikan oleh swasta.
Said menuturkan stok yang terbatas pun membuat Bulog sulit melakukan operasi pasar dengan leluasa. Sementara total konsumsi total kebutuhan konsumsi di Indonesia bisa mencapai 32 juta ton.
"Di situ keputusan Bulog diambil (impor beras). Ini yang kerap menjadi persoalan," kata Said.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk impor beras tahun ini. Berdasarkan penyelesaian surat penugasan yang diterima Tempo, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, memerintahkan Perum Bulog untuk mendatangkan 2 juta ton beras hingga Desember 2023.
Dalam surat penugasan tersebut, Arief mengatakan impor beras sebanyak 500 ribu ton pertama akan dilaksanakan secepatnya.
Pilihan Editor: Jokowi Impor Beras 2 Juta Ton, Pengamat: Produksi Cukup tapi Bulog Tak Sanggup Menyerap
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.