“Melihat regulasi yang lemah, maka dapat dikatakan penegasan pelarangan yang dilakukan presiden adalah hanya drama semata mata. Penegasan presiden tentang pelarangan juga hanya akan jadi pepesan kosong,” tutur dia.
Ditambah lagi dengan adanya gejala penggerusan pangsa pasar thrifting terutama pakaian impor diduga berasal dari importir terutama pakaian atau tekstil dari Cina yang selama ini bersifat oligopolistik pelakunya. Sebab dengan semakin meningkatnya kegemaran aktivitas bisnis thrifting maka akan menggerus pangsa pasar mereka.
Menurut Suroto, membanjirnya barang bekas tentu menjadi ancaman bagi industri terutama tekstil. “Namun pelarangan yang sifatnya represif dan penuh drama, serta tidak jelasnya insentif kebijakan dukungan bagi industri tekstil nasional terutama perajin skala rumah tangga (home industri) maka lagi-lagi hanya membuat masyarakat kecil sebagai korbannya,” kata dia.
Seharusnya, dia menyarankan, jika pemerintah itu benar-benar serius maka regulasi pelarangannya bersifat imperatif. Para pedagang kecilnya diberikan jeda waktu yang jelas dan diarahkan untuk mengalihkan usahanya dari berjualan barang bekas dan atau usaha lainya.
“Mereka selama ini telah banyak yang andalkan kegiatan penjualan sebagai gantungan hidup keluarganya,” ucap Suroto.
Selain itu, masalah-masalah ekosistem industri tekstil nasional seperti aspek pembiayaan, kelembagaan, akses pasar dan pemasaran, serta dukungan lainya seperti riset dan rekayasa desain diberikan insentif kebijakan yang jelas. “Bahkan kalau perlu diberikan subsidi atau berupa insentif kebijakan trade off untuk misalnya memotong biaya distribusi dan lain-lain,” kata dia.
Pilihan Editor: Kemenkop UKM Minta E-Commerce Take Down Pakaian Bekas Impor, Begini Kata Facebook
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini