Andi mengungkapkan ada pasal ‘pemutihan’ atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan. Persoalan itu sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga dipertahankan.
Menurutnya, aturan teranyar tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tak memiliki izin. Perpu Ciptaker memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dengan batas waktu sampai dengan 2 November 2023.
Ironisnya, perubahan iklim jadi salah satu konsideran dalam penerbitan Perpu Cipta Kerja. Padahal, kata Andi, substansi Perpu Cipta Kerja memuat pasal-pasal yang berbahaya bagi lingkungan hidup. "Sudah barang tentu hal ini merupakan pengelabuan dalam memaksakan kegentingan," kata dia.
Langkah pemerintah menjawab putusan MK dengan Perpu Cipta Kerja, menurut Andi, hanya siasat negara mengakali putusan MK, yang kemudian juga disahkan menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR. Ini melanjutkan pembangkangan yang dilakukan sebelumnya dengan mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini untuk menutupi kesalahan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
"Pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang sukses melengkapi daruratnya perlindungan lingkungan hidup dan HAM," ujar Andi.
Pilihan Editor: Dicecar Soal Laporan Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun ke Jokowi, Begini Penjelasan Kepala PPATK
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini