Ketika diperiksa Direktorat Jenderal Bea Cukai, tidak ditemukan adanya pelanggaran. PPATK lantas mengirim surat tembusan pada Direktorat Jenderal Pajak.
"Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan surat tembusan tadi juga, yaitu nomor 205 dan pada saat yang sama PPATK mengirim surat kepada pajak nomor 595. Di dalam surat 595 ini transaksinya lebih besar lagi, yaitu Rp 205 triliun kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dan jumlah entitasnya dari 15 menjadi 17," papar Sri Mulyani.
Ini berarti jumlah transaksinya bertambah menjadi Rp 205 triliun dengan 17 entitas. Direktorat Jenderal Pajak kemudian melakukan penelitian.
Salah satu figurnya, kata Sri Mulyani, berinisial SB yang di dalam data PPATK disebutkan omzetnya mencapai Rp 8,24 triliun.
"Data dari SPT pajak adalah Rp 9,68 triliun, lebih besar di pajak daripada PPATK. Itu pun kita tetap menggunakan data PPATK karena orang ini memiliki saham dan perusahaan PT (berinisial) BSI, kita meneliti PT BSI yang ada di surat dari PPATK juga," tuturnya.
Dalam data PPATK, PT BSI telah membayar pajak badan senilai Rp 11,77 triliun dari 2017 hingga 2019. Namun, data SPT pajak PT BSI di Kemenkeu adalah Rp 11,56 miliar.
"Jadi perbedaannya Rp 212 miliar itu pun dapat dikejar. Dan kalau memang buktinya nyata maka si perusahaan itu harus membayar plus denda 100 persen," ungkap Sri Mulyani.
Hal tersebut juga ditemukan pada perusahaan berinisial PT IKS. Dalam data PT IKS pada 2018 hingga 2019 di PPATK menunjukkan Rp 4,8 triliun. Namun dalam SPT-nya PT IKS hanya mencatatkan Rp 3,5 triliun.
"Kemudian ada seseorang yang namanya DY. SPT-nya hanya Rp 38 miliar, tapi PPATK menunjukkan transaksinya mencapai Rp 8 triliun, perbedaan data ini yang kemudian dipakai oleh Direktorat Jenderal Pajak memanggil kepada yang bersangkutan," tuturnya.
Pilihan Editor: Pemotongan Upah Buruh 25 Persen, Anggota DPR: Masyarakat Menderita saat Ramadhan dan Lebaran
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.