TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi serikat buruh bernama Dialog Sosial Sektoral (DSS) mengungkapkan ada lima asosiasi pengusaha, termasuk Apindo, yang mengirimkan surat kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah sebelum terbitnya izin pemotongan upah buruh. Surat tersebut berisi permintaan agar Menaker menerbitkan aturan tambahan soal fleksibilitas jam kerja hingga pemotongan upah para buruh.
Izin pemotongan upah itu diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. DSS menduga penerbitan Permenaker ini adalah langkah pemerintah untuk mengakomodir permintaan para pengusaha tersebut.
"Aturan ini tidak begitu saja dikeluarkan Menaker karena situasi global. Besar kemungkinan aturan tersebut untuk mengakomodir permintaan dari 5 asosiasi pengusaha itu," ujar Koordinator DSS, Emelia Yanti Siahaan dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Senin, 20 Maret 2023.
Lima asosiasi tersebut adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Korean of Garment Association (KOGA), dan Korean of Footwear Association (KOFA). Emelia mengaku memiliki salinan surat tersebut. Ia berujar kelima asosiasi itu mengirimkan surat pada 7 Oktober 2022.
"Surat itu kemudian disambut oleh Menaker dengan mengeluarkan Permenaker ini," tutur Emelia.
Seperti diketahui, Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 menetapkan sejumlah pengaturan baru atas jam kerja dan pembayaran upah untuk buruh di lima industri padat karya berorientasi ekspor. Diantaranya industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit, furniture, dan mainan anak.
Beleid tersebut membolehkan pengusaha untuk mengurangi jam kerja para buruh. Dalam Pasal 8 disebutkan pengusaha juga diperbolehkan memotong upah sampai 25 persen dari upah yang biasa dibayarkan.
Emelia menilai Permenaker ini adalah bukti kedua pelecehan Kemenaker terhadap hak asasi buruh atas upah. Sebab sebelumnya pada Agustus 2021 Ida menerbitkan Kepmenaker Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19. Kepmenaker itu, kata Emilia, juga melegalisasi pembayaran upah di bawah upah minimum yang berlaku atas alasan kesepakatan dengan buruh.
Karena itu, DSS sebagai aliansi serikat buruh yang beranggotakan sepuluh serikat terbesar di sektor tekstil, garment, sepatu dan kulit menyatakan penolakan atas penerbitan dan pemberlakukan Permenaker ini. Ia mengungkapkan aturan itu adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi atas upah.
Menurut dia, alasan krisis ekonomi global sulit untuk dimengerti. Ia menilai penerbitan Permenaker itu adalah langkah pemerintah melegalisasi pemotongan upah, karena buruh dan anggota keluarganya justru adalah kaum yang paling terdampak krisis. Dia menuturkan Permenaker ini justru menunjukkan betapa Kemenaker sama sekali tidak mampu menempatkan dirinya sebagai pelindung bagi kaum buruh dari kesemena-menaan perusahaan.
"Upah adalah hak asasi, tidak boleh dinegosiasikan, bahkan dalam kondisi apa pun," ujarnya.
Pilihan Editor: Partai Buruh Nilai Menteri Zulkifli Hasan Gagal Melindungi Pasar Domestik dari Serbuan Baju Bekas Impor
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.