TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana mengatakan jika PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) melakukan pengadaan KRL baru, maka akan ada beberapa isu yang muncul. Isu tersebut adalah dampak dari biaya-biaya yang tinggi.
“Kalau nanti KCI harus menggunakan produk dalam negeri, KRL baru, itu nilainya bisa 10 kali lipat dari KRL bekas,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Rabu, 8 Maret 2023.
Isu beriktnya, Aditya melanjutkan, adalah biaya operasional KCI di masa depan akan naik. Dia mempertanyakan siapa yang akan menanggungnya. Jika penumpang berarti tarif akan naik, tapi jika pemerintah berarti public service obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik.
“Sementara saat ini Kementerian Perhubungan berupaya untuk menekan PSO KRL karena sudah sangat besar porsinya terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),” kata dia.
Aditya meminta pemerintah untuk memikirkan langkah pengadaan KRL secara komprehensip. Selain itu, kata dia, ada juga usulan soal porsi pengadaan KRL yang tidak full baru. Dia mencontohkan misalnya 80 persen trainset baru dan 20 persen bekas.
“Secara bertahap dulu, misalnya seperti itu. Jadi isunya sebetulnya terkait dengan menghindarkan pengguna itu terlantar, kalau ada armada yang dihentikan operasinya, tapi belum ada solusi dari pemerintah,” ucap Aditya.
Vice President Corporate Secretary PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Anne Purba mengatakan pihaknya merencanakan pengadaan kereta bukan baru untuk mengganti kereta yang rencananya akan dikonservasi mulai tahun ini.
Untuk itu, KCI telah melakukan Forum Group Discussion (FGD) terlebih dulu dengan melibatkan stakeholders dari kementerian, pengamat dan komunitas pengguna commuterline. "Hasilnya, impor kereta bukan baru memang menjadi pilihan utama untuk menggantikan kereta-kereta yang dikonservasi," ujar Anne melalui keterangan pers.
Selanjutnya: Menurut Anne, ada pilihan lain....