TEMPO.CO, Jakarta - Pengembangan sektor panas bumi menjadi salah satu strategi unggulan pemerintah untuk mencapai target penurunan efek rumah kaca. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana melalui keterangan tertulisnya, Sabtu 11 Februari 2023.
"Target tersebut sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) dan transisi energi menuju Net-Zero Emissions (NZE) pada 2060," kata Dadan.
Guna mewujudkan target tersebut, Dadan mengatakan, pemerintah fokus untuk mendahulukan pengembangan energi listrik melalui panas bumi. Pasalnya, panas bumi sangat menjanjikan untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik continuous base load dalam sistem ketenagalistrikan dan dapat menjadi andalan pemenuhan kebutuhan listrik nasional.
“Panas bumi, sebagai salah satu energi baru dan terbarukan, energinya bersih dan stabil kapasitas pasokannya selama puluhan tahun sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai andalan pasokan listrik karena dapat diandalkan,” katanya.
Dilansir dari Antara, Sabtu 12 Februari 2023, Dadan mengatakan, suplai energi panas bumi tergolong andal, kontinu, berkelanjutan, dan tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Dengan demikian, energi tersebut menjanjikan untuk dikembangkan sebagai bisnis layanan listrik continuous base load jangka panjang lebih dari 30 tahun.
Dadan menambahkan pemerintah juga telah melaksanakan sejumlah program untuk mempercepat implementasi panas bumi melalui insentif bea masuk, keringanan pajak saat eksplorasi, mekanisme pembiayaan yang menarik saat eksplorasi hingga program government drilling untuk menekan risiko dan cost project.
Sebagai informasi, pengembangan proyek PLTP umumnya membutuhkan waktu 7-10 tahun. Namun, pengembangannya dapat dipercepat dengan adanya government drilling.
Guna memenuhi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, di mana pada 2030 pemerintah menargetkan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 3,35 GW, pemerintah mengeluarkan Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Benefit terbesar dari Perpres yang baru saja dikeluarkan tersebut ada pada energi panas bumi, khususnya di Pulau Jawa. Untuk itu, pemerintah berharap banyak dari pelepasan umum saham perdana PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) demi peningkatan kapasitas terpasang energi panas bumi di Tanah Air. “IPO ini salah satu upaya untuk memenuhi RUPTL. Kalau tidak ada penambahan kapasitas terpasang, maka IPO Pertamina Geothermal Energy juga tidak ada gunanya,” tambahnya.
Dadan mengatakan IPO Pertamina Geothermal Energy juga dapat memberi sinyal positif bagi swasta dan investor untuk berinvestasi di sektor panas bumi nasional. “PGE akan menjadi satu-satunya perusahaan panas bumi yang pertama dan terbesar melantai di Bursa Efek Indonesia. Wilayah kerja yang dimiliki Pertamina Geothermal Energy itu kelas satu semua dan resikonya juga paling minimal,” terangnya.
Hingga 2022, kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia mencapai 2.347,63 MW (proyeksi Kementerian ESDM). Dari total kapasitas terpasang energi panas bumi sebanyak 2.347,63 MW tersebut, PGEO mengelola 13 wilayah kerja panas bumi dengan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 MW. Rinciannya, sebanyak 672 MW dikelola langsung dan 1.205 MW melalui operasi bersama (join operation contract).
Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy Ahmad Yuniarto menargetkan untuk meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung menjadi 1.540 MW pada 2030. “Itu artinya pada 2030, PGE berpotensi untuk memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi karbon sebesar 9 juta ton per tahun dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi dunia,” ungkapnya.
Direktur Eksplorasi dan pengembangan Pertamina Geothermal Energy Rachmat Hidayat menambahkan dengan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 1.877 MW, PGE dapat menyalurkan listrik untuk sekitar 2.085.000 rumah tangga atau setara 88.752 BOEPD bahan bakar fosil.
Pilihan Editor: ESDM Sebut Permen Perdagangan Karbon Aturan Wajib, Apa Saja yang Diatur?