TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Segara Institut Pieter Abdullah Redjalam merespons pengumuman Badan Pusat Statistik atau BPS soal pertumbuhan ekonomi tahun 2022. Menurut dia, angka tersebut sesuai dengan perkiraan Segara Institut di mana pertumbuhan ekonomi 2022 sekitar 5,25-5,50 persen.
“Pertumbuhan yang tinggi di-support oleh pulihnya konsumsi seiring pandemi yang mereda bahkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) sudah dicabut,” ujar Pieter kepada Tempo pada Selasa, 7 Februari 2023.
Baca juga: Ekonomi RI Tumbuh 5,31 Persen, Sri Mulyani: Alhamdulillah Meski Ekonomi Dunia Melambat
Sementara, Pieter menambahkan, investasi meningkat. Di mana target Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bisa tercapai. Di sisi lain, di tengah tingginya harga komoditas Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan tertinggi sepanjang sejarah.
Secara sektoral, dia berujar, sektor-sektor yang pada tahun 2021 masih negatif sudah mulai tumbuh positif termasuk sektor transportasi dan pariwisata. “Daerah-daerah yang sebelumnya masih tumbuh negatif seperti Bali, mulai tumbuh positif,” tutur Pieter.
Pieter menilai, perekonomian Indonesia memang berbeda dengan Amerika Serikat, Cina, Jepang, Singapura, dan lainnya. Menurut dia, negara-negara tersebut bergantung kepada ekspor. Sehingga ketika permintaan global turun, ekspor mereka turun, dan pertumbuhan ekonomi mereka menjadi sangat terbatas.
“Sementara perekonomian Indonesia lebih dipengaruhi oleh permintaan domestik yang tahun kemarin justru naik karena pandemi yang mereda,” ucap Pieter.
Kepala BPS Margo Yuwono angka pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,31 persen cukup mengesankan di tengah perlambatan ekonomi global yang terus berlanjut. Sepanjang tahun 2022, kinerja pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor global dan domestik.
Secara global, kata Margo, Indonesia diuntungkan dengan relatif tingginya harga komoditas ekspor unggulan di pasar global yang memberikan windfall dan mendongkrak kinerja ekspor serta surplus neraca perdagangan. “Namun demikian, harga komoditas unggulan Indonesia di pasar global sudah mulai menunjukkan tren penurunan,” kata dia.
Sedangkan secara domestik, kombinasi aktivitas masyarakat yang semakin menggeliat dan bauran kebijakan fiskal serta moneter untuk menjaga daya beli mampu mendorong aktivitas ekonomi, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.
Namun pertumbuhan beberapa lapangan usaha yang menjadi motor sektor seperti industri, pertanian, pertambangan, dan konstruksi masih berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. “Di sisi lain, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga masih belum kembali pada level sebelum pandemi,” ucap Margo.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.