Selanjutnya PT Multi Nabati Sulawesi dengan volume biodiesel sebanyak 402 juta liter dan insentif yang diterima mencapai Rp 2,13 triliun. PT Permata Hijau Palm Oleo juga mendapatkan insentif tinggi Rp 2,08 triliun dengan volume biodiesel sebesar 409 juta liter.
Sedangkan PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan insentif Rp 2,01 triliun dengan volume penjualan ke biodeisel sebesar 391 juta liter. Lalu PT Tunas Baru Lampung mendapat insentif sebesar Rp 1,89 triliun dengan volume biodiesel 356,5 juta liter. PT Sinarmasa Bio Energy mendapatkan insentif sebesar Rp 1,88 triliun dengan volume biodiesel 369,7 juta liter.
"Ini segelintir orang ini aja. Jadi Anda bisa bayangkan betapa karut marutnya pengelolaan kebijakan Indonesia yang mengkhawatirkan sekali," ujar Faisal.
Di sisi lain, harga jual CPO untuk program itu juga lebih tinggi dibandingkan untuk produsen pangan, khususnya minyak goreng. Sehingga ia menduga kondisi ini menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng saat ini.
Faisal pun memperkirakan penjualan CPO akan semakin meningkat karena pemerintah baru saja meluncurkan program Mandatory Biodiesel B35 pada 1 Februari lalu, di mana pemerintah meningkatkan kandungan minyak sawit dalam solar hingga 35 persen. Sehingga insentif dari BPDPKS akan semakin besar mengalir kepada pengusaha yang menjual CPO ke produsen biodiesel.
"Sumber dana untuk menomboki kesenjangan harga didapat dari BPDPKS yang notabene 3/4-nya buat pengusaha-pengusaha besar ini. Jadi petani sawit mah dicuekin oleh pemerintah. Nah ini realitas yang kita hadapi," ucap Faisal Basri.
Baca juga: Kritik Implementasi B35, Faisal Basri: Ada Penghematan Devisa, tapi Ongkosnya Lebih Besar Jadi Minus
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.