TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Manajer Lapangan Food Estate Humbang Hasundutan, Van Basten Pandjaitan, buka suara soal tudingan yang menyebut proyek lumbung pangan gagal. Menurut dia, ada banyak variabel dan parameter kegagalan food estate seperti faktor cuaca seperti curah hujan yang tinggi, hama, dan kondisi tanah.
"Kalau dibilang gagal sekarang relatif, gagalnya apa? Kalau dibilang hasil belum optimal dengan parameter kondisi tanah pertama kali, apakah disebut gagal?" kata Van Basten saat ditemui Tempo di Coffee Caffee Hotel Ayola Dolok Sanggul, Sumatera Utara, Kamis, 26 Januari 2023.
Baca: Cerita Petani Food Estate Humbang Hasundutan: Terpaksa Tanam Bawang Putih, Gagal Panen, Hingga ...
Tetapi, kata dia, kalau sudah masuk musim tanam kelima dan masih gagal juga, baru hal itu perlu dipertanyakan. Menurut dia, jika kondisi itu terjadi, perlu dilakukan evaluasi, apakah petani yang terlibat serius dalam menjalankan proyek ini.
Anak buah Luhut Pandjaitan ini tak menampik bahwa pada tahap pertama, petani masih kesulitan untuk menanam komoditas holtikultura pertama kalinya. Ia juga mengakui banyak petani yang memilih meninggalkan lahan food estate lantaran kekurangan dana.
Karena itu, pemerintah akan mendorong petani food estate untuk bermitra dengan perusahaan swasta. Perusahaan swasta ini juga akan didorong dari yang sebelumnya hanya berperan sebagai offtaker atau pemasok kebutuhan industri, menjadi investor.
Empat skema kerja sama food estate
Ia menuturkan ada empat skema kerja sama yang diusulkan. Pertama, kerja sama petani dengan perusahaan swasta sebagai offtaker.
Berdasarkan MoU, kata dia, perusahaan sudah sepakat akan menyerap seluruh hasil budi daya petani dan meminjamkan benihnya. Sementara pupuk dan tenaga kerja berasal dari petani. Alhasil, petani mendapatkan uang hasil penjualan dikurangi biaya modal.
Kemudian, skema yang kedua, semua biaya ditangung oleh investor. Contohnya, biaya budi daya kentang sebesar Rp 130 juta, maka investor akan memberikan dana tersebut.
Kemudian petani hanya bekerja sebagai tenaga kerja harian. "Anggap (upahnya) Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per hari. Berarti kalau dia kerja aja selama 25 hari, mungkin sudah dapat Rp 2 juta," ucapnya.
Dia bercerita investor pun sempat bertanya-tanya dari mana petani akan menghidupi mereka. Tetapi, Van Basten menjelaskan para petani hanya perlu dibayar tenaganya saja, sementara investor bisa memberikan modal 100 persen dan menyerap hasil panen sepenuhnya.
Selanjutnya: Namun setelah empat bulan panen...