TEMPO.CO, Jakarta - Polemik usulan kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) atau biaya haji pada 2023 oleh pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) terus menggelinding dan dikaji. Padahal Menag Yaqut Cholil Qoumas menargetkan penetapan BPIH tahun ini sudah bisa dilakukan pada 13 Februari 2023.
Sebenarnya dimana duduk permasalahannya? Tempo mencoba menelusuri kembali permasalahan kenaikan haji 2023 itu.
Komposisi BPIH
BPIH terdiri dari dua komponen biaya, yaitu Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan Nilai Manfaat. Bipih ini dibayarkan oleh jemaah haji. Sedangkan Nilai Manfaat dibayarkan oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Nah, kenaikan Bipih inilah yang menjadi sorotan, karena dinilai cukup memberatkan para calon jemaah. Tahun 2023 ini, pemerintah mengusulkan Bipih menjadi Rp 69 juta. Biaya ini lebih tinggi ketimbang Bipih 2022 yang hanya Rp 39 juta.
Perubahan skema pembiayaan
Pertanyaan selanjutnya, kenapa jemaah harus membayar Bipih dengan harga yang lebih tinggi? Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief menjelaskan bahwa itu terjadi karena perubahan skema persentase komponen Bipih dan nilai manfaat, seperti dikutip dari Kemenag, Sabtu, 21 Januari 2023.
Tahun 2023 ini, pemerintah mengajukan skema komposisi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat (70:30). Sementara pada 2022, skema komposisi 40 persen Bipih dan 60 persen nilai manfaat (40:60). Maka dari itu, muncul angka Bipih 2023 menjadi Rp 69 juta, sedangkan Bipih 2022 hanya Rp 39 juta.