TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menyampaikan penolakan terhadap Perpu Cipta Kerja yang ditandatangai Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 30 Desember 2022. Gebrak menilai pemerintah melakukan akrobat hukum untuk menghidupkan UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Gebrak terdiri dari 20 organisasi, yaitu Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN). Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR), dan Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO).
Baca: Ketahui Apa itu Surat Utang Negara dan Tujuan Penerbitannya
Kemudian, ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KPRI), Federasi Serikat Buruh Makanan & Minuman (FSBMM), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Federasi Pekerja Industri (FKI), Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM), dan Lokataru Foundation.
Gebrak lantas menyebut ada sejumlah masalah yang bakal dihadapi rakyat akibat Perpu Nomor 2 Tahun 2022 itu. Berdasarkan keterangan yang diterima Tempo, Senin, 9 Januari 2023, potensi masalah-masaah tersebut, yaitu:
1. Pasar Tenaga Kerja Fleksibel
Dalam Perpu Cipta Kerja bagian umum disebutkan bahwa alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya karena penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97 persen) bekerja pada kegiatan informal. Koalisi melihat bahwa alasan tersebut merupakan pembenaran atas adanya praktik-praktik hubungan kerja non-standar (informalisasi) yang sekarang menjadi tren seiring adanya disrupsi teknologi.
Lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diatur dalam Peraturan Pemerintah, yakni PP No. 35 Tahun 2021. Dalam Pasal 6 PP No. 35 Tahun 2021 diatur PKWT dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun, sehingga membuat kepastian Hak atas Pekerjaan semakin dijauhkan bagi para pekerja/buruh.
2. Politik Upah Murah
Sebagaimana diatur Pasal 88C ayat (3) UU/Perppu Cipta Kerja dan Pasal 25 ayat (2) dan PP No. 36 Tahun 2021, skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Padahal, kebijakan pengupahan mestinya merujuk pada kondisi obyektif dan riil pekerja. Upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.
Kondisi tersebut menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia. Koalisi menilai Perpu Cipta Kerja melegitimasi kebijakan politik upah murah di Indonesia.
Selanjutnya: 3. Perluasan Sistem Outsourcing....