TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyentil kalangan bankir yang wajahnya tampak sangat berbeda, seperti bahagia, ketika bicara soal kenaikan suku bunga.
“Saya bicara dengan para bankir, kalau bicara tentang interest rate naik itu. Anda sepertinya malah menari-nari di atas penderitaan semua orang. Anda kayaknya wajahnya malah lebih bahagia gitu,” ujar Sri Mulyani acara CEO Banking Forum yang digelar virtual, Senin, 9 Januari 2023.
Baca: Sri Mulyani Pastikan 2023 Indonesia Tidak Terkena Resesi: Insya Allah Kita Jaga Terus
Dari pengamatannya, kata Sri Mulyani, para bankir seperti berpendapat selama Menteri Keuangan bisa mengelola dan menstabilkan perekonomian, tak masalah jika suku bunga naik.
Kenaikan bunga kerek cost of fund
“Tapi sebetulnya tidak otomatis seperti itu. Karena cost of fund yang tinggi pasti akan mempengaruhi kegiatan ekonomi secara menyeluruh,” tutur bendahara negara tersebut.
Sebab, kenaikan suku bunga acuan yang pada gilirannya memicu kenaikan suku bunga kredit akan menciptakan tambahan beban bagi masyarakat. Begitu juga perubahan suku bunga deposito juga bakal mempengaruhi perbankan.
Deretan dampak kenaikan suku bunga ini yang seharusnya dipahami sebagai bentuk makin tingginya pembiayaan ekonomi dan bukan tak mungkin dapat mengganggu kestabilan ekonomi.
Sebelumnya, Sri Mulyani telah memberi contoh bahwa kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mengerek suku bunganya hingga 450 basis poin hanya dalam waktu satu tahun sebagai level tertinggi sepanjang sejarah. Langkah itu diikuti oleh bank sentral sejumlah negara, termasuk Indonesia yang terakhir menaikkan suku bunga acuan hingga 2 persen pada 2022.
Dengan hal-hal itu, ia meminta kalangan perbankan untuk lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi tahun 2023 ini. Kepada para bankir, Sri Mulyani menyebutkan, pada tahun 2020 begitu seluruh kegiatan masyarakat lumpuh akibat pandemi Covid-19, satu-satunya yang berani muncul hanya anggaran pendapan dan belanja negara (APBN).
Pasalnya, kata dia, APBN memang didesain sebagai instrumen yang harus di depan untuk menghadapi risiko paling besar.
Oleh karena itu, kata dia, semua kebijakan dibuat untuk melindungi seluruh masyarakat dan ekonomi, ditambah dengan regulasi OJK, misalnya, untuk melakukan restrukturisasi kredit, serta banyak hal lainnya.
Sri Mulyani memaparkan bahwa pemerintah sudah melakukan banyak hal. Salah satunya adalah sebagai shock absorber countercyclical dan risk taker. Padahal di saat yang sama, semua pihak juga tahu bahwa saat itu tak ada penerimaankarena kegiatan ekonomi berhenti.
“Makanya waktu itu di dalam arrangement policy 2020, kita tahu defisit kita akan menembus di atas 3 persen. Untuk itu dikeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Kita dibolehkan untuk lewat dari 3 persen dari GDP untuk defisit karena sudah pasti penerimaan turun,” ucap Sri Mulyani.
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, defisit pada tahun 2020 tembus di atas 6 persen, tapi perlahan ekonomi mulai pulih kembali pada tahun 2021. Sementara tahun 2022 yang baru saja ditutup, angka defisit berada di 2,36 persen, atau jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya.
Selanjutnya: Tak hanya bankir, Sri Mulyani mengaku juga...