TEMPO.CO, Jakarta -Organisasi kampanye lingkungan Satya Bumi menyesalkan langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja. Perpu itu untuk menggantikan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien menyebut substansi Perpu Cipta Kerja tidak banyak berbeda dengan Undang-undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. "Perpu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup," tuturnya melalui keterangan tertulis pada Jumat, 6 Januari 2023.
Beleid yang dinilai mengancam lingkungan hidup itu, di antaranya perubahan pada Pasal 18 UU Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat yang sebelumnya diatur dalam UU Kehutanan.
Andi menjelaskan sebelum direvisi dalam omnibus law, UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi, kata dia, Perpu Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut, untuk kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Selain itu, Satya Bumi juga menyoroti Perpu Cipta Kerja yang masih mempertahankan aturan yang memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan analisis dampak lingkungan (Amdal). Penyusunan Andal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan Amdal.
Ditambah, menurutnya, pasal 'pemutihan' atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga masih dipertahankan. Baik UU maupun Perpu Cipta Kerja tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku.
Ia menjelaskan UU Cipta Kerja memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam Perpu, isinya tak jauh beda, yakni hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023.
Berikutnya, Pasal 162 Perpu Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang isinya masih sama persis dengan UU Cipta Kerja. Menurut Andi, aturan itu berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminilisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang.