"Kartelisasi yang telah menghasilkan akumulasi kapital dari pertumbuhan ekonomi selama reformasi sekitar 5 persen lebih. Itu terakumulasi oleh 20 persen orang terkaya dan korbannya adalah 40 persen penduduk yang paling miskin," ujarnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan bawa para pemburu rente tadi mereka merasa insecure sehingga mereka ingin mempertahankan dominasi bisnisnya. Cara yang dilakukan mereka adalah melakukan lobi-lobi terhadap para pelindung aparat birokrat, pemerintahan, legislatif, pusat maupun daerah. "Sejak itu lah terjadi oligarki ekonomi," kata Didin.
Jika Indonesia ingin mengatasi masalah ini, Didi menuturlan perlu ada reformasi politik dan ekonomi. Bentuk reformasi yang dibutuhkan adalah penyederhanaan prosedur kampanye, menghilangkan berbagai modus pemberian mahar politik dan berbagai bentuk korupsi politik dalam setiap penentuan calon dalam Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
Ia menyarankan agar partai politik dibiayai oleh APBN. Langkah itu pun, menurutnya sudah terbukti berhasil di Jerman. Di negara itu, kata dia, korupsi politik dan gejala oligarki tidak terjadi karena memang tidak diperbolehkan sumbangan kepada partai politik dari elit bisnis.
"Konsekuansinya UU Pemilu, UU Politik dan UU lainnya harus direvisi, dan intinya melarang sumbangan kepada partai politik," kata Didin.
Reformasi ekonomi juga diperlukan dengan cara menekan ongkos ekonomi, memperkuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan kewenangan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tujuannya agar bisa menyadap pelaku kartel. Kemudian memberantas mafia, kertelisasi, perburuan rente dan korupsi ekonomi.
"Paralel dengan penyehatan mekanisme pasar, membangun kelas menengah yang besar dengan pemberdayaan UMKM serta hilirisasi bisnis besar berbasis SDA atau komoditi," tutur Didin.
Baca juga: Perpu Cipta Kerja Kembali Atur Soal Outsourcing, Ini Deretan Faktanya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.