TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S Damanhuri menilai oligarki ekonomi akan semakin mengendalikan politik Indonesia pada tahun ini. Hal itu menurutnya terbukti dari begitu cepatnya sejumlah undang-undang (UU) disahkan, bahkan di luar prosedur seperti UU Minerba, UU KPK, UU Cipta Kerja, UU MK, UU IKN, UU HPP, hingga yang paling anyar, Perpu Cipta Kerja.
"Menurut saya lahirnya berbagai regulasi ini bukti bekerjanya fenomena oligarki," ujarnya dalam konferensi pers virtual yang diadakan oleh Indef pada Kamis, 5 Januari 2023.
Ia menjelaskan proses legislasi tersebut telah mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik yang justru diminta oleh UU itu sendiri. Didin menuturkan gejala tersebut juga telah menjadi perhatian The Economic Intellegence Unit. Berdasarkan laporan lembaga tersebut, gelaja-gejala itu berimbas pada penurunan indeks demokrasi Indonesia yang terus merosot sejak 2016.
Dampaknya, ketimpangan di Tanah Air semakin memburuk. Berdasarkan data dari Credit Suisse, penguasaan aset oleh oligarki ekonomi dibandingkan mayoritas penduduk Indonesia sangat timpang, di mana empat orang terkaya sama dengan 100 juta penduduk. Didin mengatakan harta 1 persen orang terkaya di Indonesia sama dengan 46,6 persen produk domestik bruto (PDB) dan 10 persen orang terkaya sama dengan 75 persen PDB.
Lebih tajam lagi, kata dia, jika diukur oleh index oligarki atau material power index ala Jaffrey Winter, hasilnya ketimpangan di Indonesia pada 2014 adalah yang kedua paling parah setelah Cina dengan indeks oligarki 678,000 kali. Sedangkan pada 2018 naim 750.000 kali Pada 2020 bahkan indeks oligarki Indonesia merupakan yang terparah di Asia Tenggara yaitu 822.000 kali. Terakhir, pada 2022 indeksnya mencapai 1.060.500 kali.
Ia mengatakan angka tersebut sudah dibenarkan oleh pihak perbankan yang mencatat saldo pemilik rekening di atas Rp 5 miliar terus naik, sedangkan mereka yang di bawah 100 juta itu mengalami penurunan. "Ini mengkonfirmasi adanya ketimpangan sebagai dampak adanya oligarki ini," tuturnya.
Menurut Didin, faktor utama penyebab suburnya oligarki ekonomi di Indonesia adalah dibiarkannya para oligarki ekonomi menjadi investor politik. Oligarki ekonomi di Indonesia diperbolehkan menyuntikkan dana pada seluruh tingkatan pemilihan umum, mulai dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg) hingga Pemilihan Presiden (Pilpres).
Jika Indonesia ingin mengatasi masalah ini, menurut Didin, perlu ada reformasi politik dan ekonomi. Bentuk reformasi yang dibutuhkan adalah penyederhanaan prosedur kampanye, menghilangkan berbagai modus pemberian mahar politik dan berbagai bentuk korupsi politik dalam setiap penentuan calon dalam Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
"Konsekuaneinya UU Pemilu, UU Politik dan UU lainnya harus direvisi dan intinya melarang sumbangan kepada partai politik," ucapnya.
Ia menyarankan agar partai politik dibiayai oleh APBN. Langkah itu pun, menurutnya sudah terbukti berhasil di Jerman. Di negara itu, kata dia, korupsi politik dan gejala oligarki tidak terjadi karena memang tidak diperbolehkan sumbangan kepada partai politik dari elit bisnis.
Reformasi ekonomi juga diperlukan dengan cara menekan ongkos ekonomi, memperkuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan kewenangan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tujuannya agar bisa menyadap pelaku kartel. Kemudian memberantas mafia, kertelisasi, perburuan rente dan korupsi ekonomi.
"Paralel dengan penyehatan mekanisme pasar, membangun kelas menengah yang besar dengan pemberdayaan UMKM serta hilirisasi bisnis besar berbasis SDA atau komoditi," tuturnya.
RIANI SANUSI PUTRI