Selain itu, Apindo juga menyoroti dua poin penting terkait Perpu Cipta Kerja, yakni soal outsorcing (alih daya) dan upah minimum (UM).
Menurut Apindo, pengaturan outsorcing dalam Perpu Cipta Kerja dibatasi. Hal ini tampak pada Pasal 64 ayar (2) Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang berubunyi 'Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)'.
"Revolusi industri 4.0 banyak skil baru yang akan muncul diiringi pekerjaan-pekerjaan yang banyak hilang. Dengan skil baru yang muncul, tak semua perusahaan punya kapabilitas untuk penuhi skil itu sehingga tren untuk hadapi industri 4.0 banyak perusahaan yang melakukan outsourcing," kata anggota Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Apindo Susanto Haryono.
"Outsourching itu bukan untuk mencari pekerja murah, tapi adalah untuk mencari pekerja terampil. Ini pesan utama, karena yang kita hadapi saat ini bukan lagi mencari pekerja murah tapi pekerja terampil yang buat perusahaan tetap bisa berkelanjutan dan tetap efisien dalam menjalankannya," sambung dia.
Sementara pada poin upah minimum, Apindo memandang formula UM dalam beleid tersebut akan menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja. Hal ini termaktub dalam Pasal 88 D ayat (2) Perpu Cipta Kerja yang berbunyi 'Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu'.
"Jadi, investasi yang masuk nanti padat modal lagi, makanya dalam rumusan Perpu itu sebetulnya ada satu hal agak mengganjal, disitu pertimbangannya inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Padahal, yang namanya pertumbuhan ekonomi belum tentu linier dengan penyerapan tenaga kerja, kenapa kami bilang tidak linier? Karena supply dan demand, supply tenaga kerja berapa, demand yang mau nerima berapa," ungkap Hariyadi.
Hariyadi lantas mencontohkan di Maluku Utara yang memiliki pertumbuhan ekonomi paling tinggi sebesar 27 persen. Namun, ia melihat pertumbuhan sebesar itu belum bisa menyerap begitu banyak pekerja.
"Dampak ke investasi itu yang kita concern, nanti kalau yang masuk padat modal semua, kualitas investasinya menurut pandangan kami ngga bagus karena tidak dirasakan oleh lebih banyak rakyat Indonesia," tuturnya.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini