TEMPO.CO, Jakarta - Buruh akan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu Cipta Kerja bila klausul-klausul di dalamnya tak sesuai dengan harapan dan usulan pekerja. Perpu pengganti UU Cipta Kerja tersebut telah diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 30 Desember 2022.
“Bilamana isi Perpu tidak sesuai harapan yang diusulkan Partai Buruh dan organisasi serikat pekerja, tentu kami menolak. Ada langkah-langkah untuk melanjutkan perjuangan kami. Kami akan tetap aksi lagi,” kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam konferensi pers virtual pada Sabtu, 31 Desember 2022.
Partai Buruh dan serikat pekerja sejatinya menilai keputusan Jokowi mengeluarkan Perpu Cipta Kerja adalah kebijakan yang baik. Sebab, menurut Said, kelompok buruh telah mengusulkan penerbitan perpu untuk menganulir UU Cipta Kerja—bukan membahas kembali UU Cipta Kerja yang telah diputus cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi.
Said optimistis Perpu yang dikeluarkan Jokowi sesuai dengan ekspektasi. “Tapi tidak tahu ya kalau para menteri ada yang bermanuver,” ucap dia.
Baca juga: Jokowi Teken Perpu Cipta Kerja, Airlangga: Kebutuhan Mendesak
Said melanjutkan, sebelum Perpu dikeluarkan, kelompok buruh telah membahasnya bersama tim Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Buruh mengusulkan revisi terhadap klaster ketenagakerjaan. Harapannya agar diperoleh win-win solution.
Dalam pertemuan dengan Kadin, Said melanjutkan, disepakati sejumlah hal. Di antaranya, upah minimum dikembalikan ke UU Nomor 13 Tahun 2003. Sedangkan kenaikan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, serta mempertimbangkan survei kebutuhhan hidup layak. Upah minimum ini lantas ditetapkan oleh gubernur.
“Upah minimum sektoral dalam usulan kami juga masih ada. Seperti UMSP untuk provinsi dan UMSK untuk kabupaten/kota. Tetapi berbeda dengan UU 13, upah minimum sektoral diputuskan di tingkat nasional, bukan diputuskan di tingkat daerah,” kata Said.
Lebih lanjut, buruh mengusulkan soal outsourcing yang di dalam UU Cipta Kerja dibebaskan untuk semua pekerjaan untuk disamakan dengan UU Nomor 13 Tahun 2023, yaitu dengan pembatasan. Sementara itu, ihwal pasal karyawan kontrak yang di dalam UU Cipta Kerja tidak dibatasi periode kontraknya, meski di dalam PP ada batasan paling lama 5 tahun, buruh mengusulkan agar ada perubahan. Buruh ingin ada periode kontrak bagi karyawan kontrak.
Pembatasan ini ditujukan untuk menghindari kontrak kerja yang berulang tanpa pengangkatan menjadi karyawan tetap. Said menambahkan, hal lain yang juga diusulkan dikembalikan ke UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah pesangon, tetapi dengan modifikasi. Perhitungan pesangon tidak ada perubahan, tetapi dasar upah yang digunakan sebagai perhitungan pesangon adalah 4 kali PTKP.
“Dengan demikian untuk mereka yang upahnya lebih besar dari 4 PTKP, maka upahnya dihitung maksimal 4 PTKP,” jelas Said Iqbal.
Kemudian, pengusaha boleh memilih asuransi pesangon dengan mendaftarkan buruhnya ke pengelola asuransi pesangon, seperti BPJS Ketenagakerjaan. Soal iuran, kata dia, dapat didiskusikan lebih lanjut. Namun, pemerintah harus memastikan manfaatnya sama dan iuran dibayarkan pengusaha.
Sementara itu perihal PHK, jam kerja, lembur, sanksi, dan hak upah buruh perempuan saat cuti haid dan melahirkan, buruh meminta untuk dikembalikan ke UU Nomor 13 Tahun 2023. “Itulah usulan kami untuk Perpu Cipta Kerja setelah berdiskusi dengan Tim Kadin,” ujar Said.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutus Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat formil. Amar putusan MK berbunyi beleid sapu jagat itu inkonstitusional bersyara. Pemerintah serta DPR diberi waktu hingga dua tahun untuk memperbaiki undang-undang.
Jokowi kemudian menerbitkan Perpu Cipta Kerja sebagai pengganti UU Cipta Kerja. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menyempurnakan beberapa klausul sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Jokowi Terbitkan Perpu Cipta Kerja, Airlangga: Tahun Depan Target Investasi Rp 1.400 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.