Berjarak puluhan kilometer dari Roemah Iponk, sebuah kedai kopi di daerah Rawamangun memiliki konsep serupa. Berawal dari keinginan untuk bisa punya tempat berkumpul dan berkarya, Irsyad Ridho, seorang dosen Fakultas Bahasa dan Seni di salah satu perguruan tinggi negeri, mendirikan sebuah kedai kopi bernama Atelir Ceremai. Tak sendiri, ia menjadi pendiri kafe bersama dua orang kawannya dari bidang serupa, Ghozi dan Jimbe.
Sejatinya, Irsyad enggan melabeli Atelir Ceremai sebagai kedai kopi. Ia lebih suka menyebutnya kedai kolektif tempat para seniman bekerja. Selaras dengan namanya, Atelir berarti studio tempat kerja para seniman. Sedangkan Ceremai diambil dari sebuah tempat di Rawamangun yang memiliki sejarah dan diingat oleh warga setempat.
“Di Sunan Giri ada pasar tempat orang Rawamangun ketemu, lalu dulu ada Bioskop Ceremai di dekat sana sehingga orang-orang menyebut Pasar Sunan Giri itu Pasar Ceremai. Kemudian XXI muncul, tahun 90-an akhir tutup dan bangkrut, ingatan itu lah yang kemudian kita pakai,” kata Irsyad.
Koleksi buku di Atelir Ceremai, Rawamangun, Jakarta, 14 Desember 2022. TEMPO/Vania Novie Andini
Kedai tersebut mereka dirikan sejak 2019, terinspirasi oleh banyak tempat yang menawarkan fungsi beragam. Irsyad membangun Atelir tidak hanya sebagai kedai kopi biasa. Namun juga ruang eksplorasi bagi para pekerja seni. Berbeda dengan Roemah Iponk, Atelir memberi ruang bagi pekerja kreatif dari lima bidang kesenian, seperti sastra, teater, musik, film, dan rupa.
Ketika Tempo berkunjung, coretan mural dengan cat warna-warni memenuhi seluruh ruangan. Ini seakan menjadi identitas bagi tempat tersebut. Rak-rak buku yang juga menyatu dengan meja bar seperti menyambut tamu yang datang dengan berbagai koleksi bacaan, mulai buku sastra, novel, majalah, sampai pengetahuan.
Irsyad sengaja menyediakan fasilitas tersebut. Sebab, selain pekerja seni, pengunjung yang datang kebanyakan mahasiswa dari perguruan tinggi yang tak jauh dari lokasi kedai.
“Saya lihat ada beberapa tempat yang terpisah, kafe sendiri, toko buku sendiri, studio seniman sendiri. Tapi mereka biasanya ketemu lagi di kafe untuk membicarakan idenya, nah dari situ saya berpikir kenapa gak bikin satu tempat yang bisa memadukan itu semua,” tutur Irsyad.
Ia bercerita, tempat itu ia bangun berangkat dari kegelisahan mahasiswanya yang merasa belum memiliki ruang bebas untuk berdiskusi karya. Lantaran merasa butuh ruang tersebut, Irsyad pun mengajak Ghozi dan Jimbe untuk mendirikan tempat. Ia sudah merencanakan tempat itu sejak lama. Mereka ingin agar komunitas seni kampus, khususnya di sekitar Rawamangun, saling bersinergi.
“Tujuan kita sebenarnya memberi ruang pada teman-teman yang sudah mengembangkan komunitas di Rawamangun untuk bisa berkumpul bareng dan membuat project,” ujar Irsyad.