Lebih jauh, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira impor gula kerap dilakukan meskipun kondisinya konsumsi dalam negeri sedang rendah atau industri pengolahan sedang mengalami perlambatan. Bahkan ia menilai ada tren atau pola yang menunjukan impor gula kerap terjadi menjelang Pemilu.
"Itu perlu menjadi pertanyaan," kata dia. Adapun Pemilu akan digelar pada 2024.
Menurut Bhima, gula adalah komoditas pangan yang memilki banyak pemburu rente. Indonesia sendiri merupakan adalah salah satu negara pengimpor gula tertinggi dibandingkan negara lainnya. Padahal, kata Bhima, Indonesia punya potensi perkebunan tebu sebagai bahan baku gula yang cukup besar.
Terlebih produksi gula juga bukan barang baru di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda, kata dia, sudah banyak pabrik-pabrik industri gula di Indonesia. Namun permasalahannya, ada pihak yang menikmati rente dari impor gula. Sehingga, pihak tersebut lebih menginginkan status quo agar Indonesia terus bergantung pada impor.
Bhima mengungkapkan ada lobi-lobi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang pro terhadap impor pangan, salah satunya melalui Undang-undang Cipta Kerja. Menurutnya, Undang Cipta Kerja berkaitan dengan pasar impor karena posisi impor menjadi setara dengan posisi dalam negeri. Sedangkan sebelumnya impor hanya dilakukan ketika kebutuhan domestik tidak terpenuhi dari hasil produksi dalam negeri.
Kondisi itu juga berpengaruh kepada suntikan modal bagi perkebunan tebu dan industri manufaktur pengolahan gula. Hasilnya, di dalam negeri industri dan perkebunan tersebut kurang berkembang. Karena itu, ia menilai perlu ada perubahan tata niaga dari komoditas gula secara nasional.
Baca Juga: Kebiasaan Minum Kopi yang Justru Tidak Sehat
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.