TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat dinilai perlu mengalami resesi untuk mengatasi lonjakan inflasi, yang salah satunya terjadi akibat tingginya tingkat upah, sebagai imbas dari terbatasnya pasokan tenaga kerja.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan periode 2013—2014 Muhammad Chatib Basri dalam konteks kondisi ekonomi saat ini dan pada 2023. Dia mencermati hubungan inflasi dan ketenagakerjaan sebagai salah satu faktor yang menggerakkan kondisi ekonomi saat ini.
Baca: Ancaman Resesi Global 2023 terhadap Industri Padat Karya, Apindo: PHK Bisa Berlanjut
Menurutnya, berdasarkan beveridge curve atau grafik yang menunjukkan hubungan antara pengangguran dan tingkat lowongan pekerjaan, terdapat fenomena menarik di Amerika Serikat. Terjadi lowongan pekerjaan yang sangat besar di suatu tingkat pengangguran, yang berarti mereka tidak masuk ke pasar kerja meskipun pintunya terbuka.
Chatib menjelaskan bahwa terdapat perubahan perilaku dari sisi pasokan (supply) pekerja, terutama karena orang-orang lebih memilih untuk bekerja dari rumah atau di luar kantor (remote) pascapandemi Covid-19. Padahal, pasar kerja menghendaki mereka untuk bekerja di kantor atau lokasi, sehingga kebutuhan tidak banyak terpenuhi.
Lalu, menurutnya, terdapat kemungkinan bahwa orang-orang dengan kemampuan tertentu memilih untuk keluar Amerika Serikat atau bekerja di belahan dunia lain. Berbagai kondisi itu menyebabkan lowongan pekerjaan masih sangat besar meskipun tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam rendah.
"Bisa dibayangkan kalau permintaannya tinggi, supply-nya tidak tersedia, tingkat upahnya naik. Itu yang menjelaskan inflasi terjadi," ujar Chatib dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2023, Rabu 21 Desember 2022.
Selanjutnya: 'Amerika itu harus resesi, supaya ...