TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko buka suara soal impor beras yang sempat direncanakan oleh Perum Bulog. Ia menyatakan kurang setuju dengan rencana itu.
"Saya selaku ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) kurang setuju dengan impor beras," ucapnya saat ditemui di di Komplek Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta pada Minggu, 4 Desember 2022
Ia menjelaskan kebutuhan beras di Indonesia per bulannya mencapai 2,5 juta ton. Sehingga hasil panen dalam negeri selama setahun pun, kata dia, masih surplus sekitar 3,5 juta ton. Tetapi, Moeldoko menegaskan kondisi itu hanya terjadi dalam keadaaan normal. Sementara bila terjadi kekeringan, banjir, atau hama yang masif, maka hasil panen pun akan terganggu.
Karena itu, impor masih menjadi alternatif bagi pemerintah meskipun sebagai opsi terakhir. Terlebih menimbang ada 270 juta masyarakat Indonesia yang masih bergantung pada konsumsi beras.
"Konsumsi beras kita itu seperti Jepang 30 tahun yang lalu, jadi kita itu betul-betul konsumsi berasnya itu cukup tinggi," kata dia.
Senada dengan Moeldoko, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi pun menilai impor beras adalah alternatif terakhir apabila memang diperlukan. Musababnya, negara harus hadir ketika kebutuhan beras masyarakat terancam tak terpenuhi.
"Tapi kalau enggak perlu ya ngapain. Gitu ya. Itu prinsip. Jadi kita lebih senang gunakan semua produk yang diproduksi di Indonesia," ucap Arief.
Memaksimalkan penyerapan beras dari lokal, kata dia, juga merupakan perintah Presiden Joko Widodo. Ditambah Kementerian Pertanian telah menyatakan siap menyalurkan beras domestik untuk memenuhi kebutuhan cadangan di gudang Bulog.
Tetapi pada saat kekurangan, pemerintah akan tetap terbuka terhadap opsi impor. Pasalnya, jika pemerintah memaksakan diri membeli beras domestik, menurut Arief, perebutan stok dengan swasta akan mengerek harga gabah di tingkat petani semakin tinggi.