TEMPO.CO, Jakarta - Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan industri hulu minyak dan gas (migas) membutuhkan investasi yang cukup besar. “Kami perkirakan, industri hulu migas membutuhkan investasi US$ 179 miliar (setara Rp 2.810 triliun dengan acuan Rp 15.700 per dolar),” ujar dia di acara 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kuta, Bali pada Rabu, 23 November 2022.
Oleh karena itu, dia melanjutkan, industri tersebut memerlukan partisipasi aktif dari pelaku domestik dan internasional untuk membuka potensi migas di Indonesia. Sehingga bisa mencapai target pemerintah yaitu memproduksi minyak 1 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD) dan produksi gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).
Baca: Pastikan Industri Hulu Migas Belum Sunset, SKK Migas: Malah Sunrise
Menurut Dwi, industri migas global berada dalam masa yang sangat dinamis dan penuh tantangan. Situasi geopolitik dan ekonomi global saat ini menyebabkan gangguan pasokan energi dan pangan yang selanjutnya menyebabkan kenaikan harga.
“Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ancaman inflasi dan krisis ekonomi dan energi. Dengan demikian ketahanan energi merupakan isu penting untuk dibahas,” ucap Dwi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif juga mengatakan industri migas sedang menghadapi tantangan kritis. Alasannya, kata dia, karena dunia semakin bertransformasi menuju transisi energi bersih untuk mengurangi emisi CO2.
“Perusahaan minyak dan gas perlu mengatasi transisi ini dengan mengambil langkah signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dalam operasi mereka. Untuk mendukung dunia nol bersih,” kata dia.
Menurut dia, dorongan transisi energi untuk memenuhi target yang lebih hijau membuat sektor keuangan berhenti mendanai proyek minyak dan gas baru. Karena memberikan lebih banyak dana untuk pembangunan terbarukan, hal ini menyebabkan kurangnya investasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas.
Menyikapi transisi tersebut, kata Arifin, sejumlah perusahaan migas melakukan diversifikasi operasinya. Yaitu dengan berinvestasi di bidang non-inti misalnya pengembangan energi terbarukan, kelistrikan, dan baterai.
“Namun, meski ada tantangan tersebut, permintaan migas masih tumbuh terutama di wilayah berkembang seperti India, Afrika dan Asia. Di mana pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, industrialisasi dan kendaraan akan melonjak secara signifikan,” ucap Arifin.
Baca: Sudah Ada Pengganti Chevron, SKK Migas: IDD Bisa Mulai Jalan Tahun Depan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini