TEMPO.CO, Jakarta -Panel World Trade Organization (WTO) di Despute Settlement Body (DSB) atas perkara larangan ekspor nikel Indonesia memutuskan bahwa kebijakan larangan ekspor dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO. Meski pemerintah bakal mengajukan banding, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai perkara ini akan berdampak signifikan untuk Indonesia.
“Ini bisa menghambat hilirisasi nikel di dalam negeri. Karena cukup menimbulkan kekhawatiran investor, terutama pada prospek pembangunan pabrik pengolahan bijih mineral atau smelter,” ujar Bhima ketika ditemui di Hotel Ashley Tanah Abang, Selasa, 22 November 2022.
Konsekuensi lain juga menanti jika Indonesia kembali kalah dalam banding. Bhima mengatakan Indonesia harus membayar ganti rugi terhadap kehilangan potensi impor di negara Eropa. Selain itu, seluruh regulasi dari pemerintah juga wajib diubah sesuai keputusan WTO. Terakhir, jika kalah manding maka keputusan final akan mengikat dan tidak boleh mengajukan banding lagi.
Dampak buruk lain jika kalah banding, lanjut Bhima, program pengembangan industri baterai kendaraan listrik di kawasan industri yang disiapkan pemerintah bisa terhenti. Akibatnya, investor juga bisa ragu dalam berinvestasi di Indonesia. “Sedangkan pemerintah sudah menyiapkan kawasan industri dalam skala besar,” kata dia.
Bhima pun berharap pemerintah bisa menggalang solidaritas dari sejumlah negara yang juga memiliki kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Dengan harapan, Indonesia bisa memenangkan banding di forum WTO.
Mengenai perkara ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan pemerintah bakal mengajukan banding karena menilai keputusan panel belum memiliki keputusan tetap. “Masih ada peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi DSB,” ujar Arifin dalam Raker dengan Komisi VII DPR RI, Senin, 21 November 2022.
Adapun peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Selanjutnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Terakhir, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam hasil putusan final tersebut disebutkan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994. Panel juga menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (aspek lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Putusan final tersebut akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022. Kemudian akan dimasukkan dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.
Ihwal rencana gugatan, Tempo berupaya menggali informasi lebih dalam ke Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono. Namun, Djatmiko belum bisa memberikan banyak informasi.
“Masih berproses dan belum usai. Rahasia kalau strategi. Ditunggu saja,” kata dia, Selasa, 22 November 2022.
Baca Juga: Jokowi Bakal Larang Ekspor Timah, Bahlil: Banyak yang Tak Setuju, tapi Aku Tahu Pemainnya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.