TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDPS) Yusuf Wibisono menanggapi ditekennya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Pemnaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023. Peraturan itu terbit pada Sabtu, 19 November 2022, dengan UMP 2023 ditetapkan naik 10 persen.
Dia menjelaskan serikat buruh menuntut kenaikan UMP 13 persen, yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, yaitu dari ekspektasi inflasi 8 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Sedangkan pengusaha menghendaki kenaikan UMP 2023 setara dengan kenaikan UMP tahun 2022, yaitu di kisaran 1-2 persen saja—menghendaki UMP berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021.
“Keputusan pemerintah yang menetapkan UMP 2023 maksimal 10 persen menurut saya jalan tengah yang cukup bijaksana,” ujar dia saat dihubungi pada Ahad, 20 November 2022.
Karena, kata dia, dalam kondisi perekonomian 2023 yang akan sulit seiring resesi global, penetapan UMP berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 akan memberatkan pengusaha. Terutama industri padat karya yang banyak bergantung pada ekspor. Namun jika UMP berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021, dia menilai sangat tidak adil bagi buruh.
Baca: Serikat Buruh Menilai Ada yang Keliru dalam Penetapan UMP dan UMK 2023
Dengan keputusan ini, Yusuf melanjutkan, kenaikan UMP 2023 minimal setidaknya dapat mengkompensasi inflasi 2023 yang diperkirakan di kisaran 6-8 persen. Dengan proyeksi inflasi tahun depan yang akan lebih tinggi, menurut dia UMP 2023 memang minimal harus naik di kisaran 7-8 persen.
“Ketika nanti resesi global berakhir, perekonomian sudah kembali pulih, UMP selain memperhitungkan inflasi juga harus memperhitungkan kenaikan produktivitas buruh yang ditunjukkan oleh proksi pertumbuhan ekonomi,” kata Yusuf.
Dia pun menjelaskan, UMP 2023 sudah selayaknya naik lebih tinggi dari kenaikan UMP tahun lalu. Karena UMP tahun 2022 yang berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hanya naik rata-rata 1,09 persen.
Dibandingkan dengan inflasi tahun 2022 ini yang diperkirakan ada di kisaran 6-7 persen, kenaikan UMP 2022 yang hanya 1,09 persen jelas sangat tidak memadai, upah rill buruh tertekan luar biasa di tahun ini. “Kenaikan UMP 2022 yang hanya 1,09 persen ini juga tidak sebanding dengan produktivitas buruh, yang dapat kita dekati dengan pertumbuhan ekonomi 2022 yang diperkirakan akan diatas 5 persen,” ucap Yusuf.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meneken Pemnaker Nomor 18 Tahun 2022 itu pada Sabtu, 19 November 2022. Ia menyebutkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan tak lagi menjadi acuan penghitungan upah minimum karena dinilai belum mengakomodiasi dampak kenaikan inflasi.
"Penetapan upah minimum melalui formula PP Nomor 36 Tahun 2021 belum dapat mengakomodasi dampak dari kondisi sosial ekonomi masyarakat karena upah minimum tidak seimbang dengan laju kenaikan harga-harga barang," tuturnya melalui video YouTube yang diunggah pada Sabtu, 19 November 2022.
Dengan aturan upah minimum yang baru, kenaikan UMP dan UMK akan berlaku pada 1 Januari 2023. Periode penetapan dan pengumuman UMP pun mundur dari yang semula dilaksanakan pada 21 November Tahun 2022 menjadi paling lambat 28 November 2022.
Sedangkan UMK, yang sebelumnya diumumkan paling lambat 26 November 2022, diperpanjang menjadi paling lambat 7 Desember 2022. Perubahan waktu pengumuman UMP dan UMK dilakukan agar pemerintah daerah memiliki waktu yang cukup untuk menghitung upah minimum sesuai dengan formula baru.
MOH KHORY ALFARIZI | CAESAR AKBAR
Baca Juga: Perhitungan Kenaikan Upah Minimum Dinilai Rumit, Buruh Usul 2 Alternatif Perhitungan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.