Sementara itu, pasokan dolar AS cenderung stagnan akibat keterbatasan dana asing yang masuk ke pasar dalam negeri. Terbatasnya suplai valas antara lain itu terlihat dari indikator loan to deposit ratio (LDR) valas yang melonjak pada tahun ini.
Kenaikan LDR valas itu mencerminkan bahwa kebutuhan pembiayaan valas tinggi namun suplai valas dari masyarakat terbatas.
Rasio utang meningkat
Sunarsip menyebutkan, rasio ULN jangka pendek tahun ini yang jatuh tempo meningkat signifikan. Hal tersebut bisa dilihat dari rasio ULN jangka pendek yang jatuh tempo terhadap cadangan devisa yang meningkat dari 41,01 persen pada akhir 2021 menjadi 48,89 persen pada Juni 2022.
Keempat, perkembangan penerbitan emisi efek di pasar modal selama tahun 2022 kurang atraktif dibandingkan dengan tahun lalu. Sunarsip menatakan, hal ini terlihat di antaranya dari nilai emisi efek selama sampai dengan November 2022 yang mencapai Rp 211,69 triliun dari penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO), rights issue, dan penerbitan obligasi atau sukuk.
Angka tersebut, menurut dia, lebih rendah daripada yang dicatatkan pada tahun 2021 lalu dengan total nilai Rp 363,29 triliun. “Penurunan nilai emisi efek baru tersebut terutama terjadi pada IPO dan rights issue," tuturnya.
Tak hanya dari faktor nilai, kurangnya emisi dari emiten big player dan big name selama 2022 juga berpengaruh dalam menarik modal asing portofolio masuk ke pasar modal Indonesia. Hal-hal itu, kata Sunarsip, turut mempengaruhi pelemahan rupiah yang masih terjadi hingga kini.
BISNIS
Baca juga: Analis Prediksi Kurs Rupiah Tembus Rp 16.000 per Dolar AS November Ini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini