TEMPO.CO, Jakarta - BPJS Watch menilai langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023 tak bisa menjamin terjaganya daya beli buruh di tengah ancaman krisis dan lonjakan inflasi tahun depan. Kekhawatiran terharap UMP 2023 itu muncul dari formula anyar perhitungan upah minimum yang salah satu unsurnya dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi.
"Permenaker Nomor 18 ini belum otomatis memastikan daya beli buruh tidak turun di 2023. Ini bisa terjadi karena adanya faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar pada Ahad, 19 November 2022.
Dalam Permenaker 18 Tahun 2022, pemerintah menetapkan formula perhitungan kenaikan upah minimum 2023 sebagai berikut. Upah minimum yang akan ditetapkan dihitung berdasarkan upah minimum tahun berjalan UM(t) ditambah dengan penyesuaian nilai upah minimum yang sebelumnya telah lebih dulu dikalikan dengan UM(t).
Adapun nilai upah minimum merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa). Timboel menduga formula ini bisa menyebabkan kenaikkan UMP 2023 tidak otomatis lebih tinggi dari inflasi 2023.
Baca: Kemenaker Akan UMP 2023 Hari Ini, PP Mana yang Akan Digunakan jadi Dasar Perhitungan?
Musababnya, dalam rumus baru ini, ada faktor alfa yang nilainya ditetapkan di rentang 0,10 sampai 0,30. Tidak ada kejelasan tentang nilai alfa dan pembatasan nilai alfa tersebut. Timboel kemudian mensimulasikan Permenaker baru itu.
Dia mencontohkan kenaikan UMP DKI Jakarta 2023 berdasarkan nilai inflasi 4,61 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,96 persen. Jika asumsi nilai alfa 0,10, UMP DKI 2023 akan menjadi 4,61 persen+(4,96 x 0,10) atau hanya 5,10 persen. Sedangkan jika memakai nilai alfa 0,3, kenaikan UMP 2023 adalah 6,09 persen.
"Dengan dua simulasi ini, kenaikan UMP DKI 2023 akan diperhadapkan pada nilai inflasi 2023, yang nilai inflasinya bisa lebih tinggi dari kenaikan UM 2023," kata Timboel.
Di sisi lain, Timboel mengkritik Permenker yang hanya mengatur kenaikan upah minimum 2023. Sedangkan untuk tahun berikutnya, penghitungannya akan kembali ke formula yang diatur di Pasal 26 Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2021.
"Permenaker 18 Tahun 2022 tidak memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundangan yang diatur di UU 13 Tahun 2022 junto UU Nomor 12 Tahun 2011. Permenaker ini tidak didiskusikan di LKS Tripartit Nasional, dan tidak ada argumentasi berkaitan dengan aspek yuridis, sosiologis, dan filosofisnya," ucap dia.
Baca: Apindo: Sumber Data untuk Penetapan Upah Minimum Harus Transparan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini